Fenomena Perceraian di Kalangan Guru: SK Diterima, Suami Dilepas

ILUSTRASI Fenomena Perceraian di Kalangan Guru: SK Diterima, Suami Dilepas.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BLITAR, Jawa Timur, 2025. Dalam enam bulan pertama, tercatat 20 guru perempuan mengajukan izin cerai ke Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar. Di Pandeglang, Banten, sampai Juli 2025, ada 50 guru perempuan –mayoritas baru menerima SK PPPK– mengajukan hal yang sama.
Fenomena serupa muncul di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sekitar 32 guru ASN memilih langkah serupa setelah pengangkatan. Data nasional memang belum tersedia secara komprehensif. Namun, jika dilihat dari angka yang muncul di Blitar, Pandeglang, dan Cianjur, terlihat pola yang berulang.
Yakni, pengajuan cerai dari guru perempuan meningkat setelah mereka menerima SK ASN atau PPPK. Itulah tren yang patut dicermati lebih lanjut oleh pemerintah dan tentu saja oleh kita semua yang masih memiliki kepedulian.
BACA JUGA:Angka Perceraian dan Dispensasi Nikah Masih Tinggi Jatim
BACA JUGA: Perempuan Mandiri Penyebab Perceraian di Jatim
Melihat angka-angka itu, tampak jelas bahwa itu bukan lagi kasus terpisah atau selentingan dari satu-dua orang. Itu fenomena yang terus berulang. Kalau dalam bahasa meme, ”Begitu SK turun, surat cerai nyusul”.
Sekilas terdengar biasa saja. Tapi, kalau kita renungkan lebih dalam, ini serius. Ada keluarga yang bubar. Ada anak yang berisiko terlantar dan harus menyesuaikan hidup. Ada cinta yang mungkin dulu begitu hangat, tetapi kini terasa jauh.
Sebagian masyarakat menyayangkan. Sisanya... juga menyayangkan. Tak ada yang tepuk tangan melihat rumah tangga berakhir, apalagi kalau itu dari kerabat kita sendiri. Tapi, tentu saja, publik juga tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu rumah. Kita hanya lihat hasil akhir: SK keluar, gugatan masuk.
BACA JUGA:Angka Perceraian Meningkat di Indonesia, KDRT dan Masalah Ekonomi Jadi Penyebab Utama
BACA JUGA:Suami Bunuh Istri saat Proses Cerai: Siasat Kecil Tersangka
Lalu, kenapa itu bisa terjadi?
Pertama, adanya risiko pergeseran peran. Menurut teori peran sosial dari Alice Eagly, selama ini perempuan cenderung ditempatkan dalam peran domestik: memasak, mengngurus anak, mendampingi suami.
Tapi, ketika status berubah, peran berubah, dari honorer ke ASN, dari tergantung ke mandiri, dari pendukung ke pengambil keputusan, dinamika pun berubah. Kalau pasangan tak siap beradaptasi, ya... tentu saja akan goyah.
Kedua, karena hubungan itu, kata Kelley dan Thibaut dalam teori ketergantungan, dibangun atas dasar saling membutuhkan, ada pertimbangan untung rugi (cost and benefit). Dulu istri sangat butuh dukungan finansial dari suami. Tapi, sekarang? Gaji sendiri sudah cukup. Bahkan, bisa lebih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: