NU Adalah Asosiasi Ulama

KETUA PBNU perempuan pertama, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid (empat dari kanan), dan Arif Afandi (dua dari kanan). -istimewa-
Saat mewakili PBNU untuk penandatangan MoU kerja sama dengan pemerintah Australia di Surabaya itu, dia datang dengan hanya ditemani putra-putranya dengan mengunakan mobil Nisan Serena dari Yogyakarta. ”Menurut saya, ini mobil paling enak dan cocok untuk saya,” ungkap dia.
Dia pun tak bersedia ketika saya tawari protokol di Bandar Udara Juanda untuk urusan boarding ketika hendak lanjut ke Jakarta. Tidak seperti anak presiden RI lainnya, dia menggunakan penerbangan kelas ekonomi setelah menjalankan tugas sebagai ketua PBNU di Surabaya ini.
Saya mengenal Ning Lissa sejak dia mahasiswa. Karena itu, ikut bangga dengan jalan hidup yang dipilihnya. Juga, akan kesederhanaan serta komitmennya dalam meneruskan perjuangan ayahnya yang menjadi ketua umum PBNU tiga periode sebelum Gus Dur menjadi presiden RI.
Bahwa dia punya pendekatan khas dalam menjelaskan tentang NU kepada orang luar, itu baru saya tahu sekarang. Dia menggunakan pendekatan yang sederhana, tapi jitu. Alih-alih menjejali orang asing dengan bagan struktural, istilah keagamaan, atau sejarah panjang organisasi. Tapi, cukup dengan menyebut NU sebagai asosiasi ulama yang didirikan untuk kebangkitan mereka.
Mengapa pendekatan seperti itu jitu dan membawa pesan kuat?
Pertama, istilah asosiasi langsung terbaca universal. Hampir semua orang di dunia mengenal konsep asosiasi, yakni sekumpulan orang yang memiliki tujuan dan nilai yang sama. Tidak ada kesan hierarki rumit yang sulit dibayangkan, sebagaimana sering muncul jika NU dijelaskan lewat terminologi internalnya.
Kedua, menegaskan bahwa NU adalah kebangkitan ulama mengembalikan organisasi itu ke akar pendiriannya pada 1926. Saat itu para kiai dari berbagai daerah di Jawa, Madura, dan sekitarnya bersepakat merespons tantangan zaman, termasuk penetrasi kolonialisme dan perubahan sosial.
Bagi audiens internasional, bisa jadi frasa ”revival of scholars” atau ”the awakening of ulama” membangkitkan gambaran gerakan intelektual, moral, dan sosial yang kontributif. Karena itu, NU bukanlah sekadar kelompok religius, melainkan juga gerakan keagamaan yang menyatu dengan berdirinya bangsa ini.
”Di Indonesia, kita punya pepatah, merawat NU sama dengan merawat Indonesia. Karena hampir 100 juta warga muslim ada di lingkungan NU. Kalau NU-nya maju, Indonesia maju. Kita membutuhkan semua bentuk kerja sama bagaimana melayani jamaah NU di Indonesia,” kata Ning Lissa kepada Menteri Anne Aly.
Lebih dari itu, pendekatan Ning Lissa itu menarik karena membantu memisahkan NU dari sekadar label institusi. Banyak orang asing yang sulit memahami bagaimana sebuah organisasi yang berusia hampir seabad bisa bersifat longgar, dengan jaringan pesantren dan jutaan anggota yang tidak selalu terikat oleh instruksi formal dari pusat.
Dengan menyebutnya sebagai ”asosiasi ulama”, Alissa memindahkan fokus dari birokrasi organisasi ke jejaring pengetahuan, nilai, dan kepemimpinan moral. Bahwa selama ini PBNU telah berusaha untuk memperkuat jam’iyah atau organisasinya, itu ya. Namun, hal tersebut bukan persoalan yang mudah.
Kenapa demikian? Sebab, selain NU didirikan sebagai kebangkitan ulama yang masing-masing telah memiliki jamaah yang besar, juga karena tradisi berpikir di ulama pesantren yang beragam. Para ulama telah terbiasa dengan berbeda pendapat karena ada banyak mazhab dan tradisi pemikiran Islam yang melekat pada mereka.
Karena itu, dalam konteks pertemuannya dengan Menteri Anne Aly, Ning Lissa tak hanya memperjelas identitas NU. Tapi, juga memperluas ruang dialog. Anne Aly, yang berlatar belakang penelitian radikalisasi dan kebijakan multikultural, mendapatkan titik referensi yang akrab, sebuah perkumpulan pemuka agama yang bekerja membangun moderasi, toleransi, dan kohesi sosial.
Rasanya, pendekatan Ning Lissa itu bisa menjadi strategi komunikasi internasional yang konsisten bagi NU. Sebab, di luar negeri, ”Islam Indonesia” sering kali dipandang sebagai model Islam yang damai dan toleran, tetapi pemahaman tentang mesin sosial dan kultural yang membentuknya masih minim.
Jika NU bisa dikenalkan sebagai gerakan kebangkitan ulama, dunia akan lebih mudah melihat bahwa moderasi Islam di Indonesia bukanlah sesuatu yang tiba-tiba lahir. Ia merupakan hasil kerja panjang jaringan ulama yang terorganisasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: