Demo dan Rindu Tokoh Kultural

Sosial media.--
Suko Widodo.--
Demonstrasi bukan sekadar kerumunan. Ia adalah bahasa rakyat ketika saluran komunikasi formal tersumbat. Demo lahir sebagai jalan terakhir saat suara publik tak didengar. Di titik itulah komunikasi politik negara sering membeku: penuh jargon, seremonial, dan angka-angka statistik, tapi hampa dari sentuhan manusiawi.
Saat ini, kita sedang menghadapi kesenjangan komunikasi. Rakyat berbicara dengan bahasa keseharian, sementara pemerintah menjawab dengan bahasa birokrasi. Kaum muda berteriak lewat spanduk, mural, atau unggahan media sosial, dan negara membalas dengan konferensi pers resmi. Tidak pernah ada pertemuan di tengah. Akibatnya, jarak makin lebar.
Ruang Publik yang Membeku
Sejarah kita memberi teladan. Saat Reformasi 1998 memuncak, tokoh-tokoh kultural hadir sebagai penyejuk. Gus Dur menenangkan dengan humor yang jenaka namun sarat makna. Nurcholish Madjid, atau Cak Nur, memberi pencerahan dengan rasionalitas Islam modern.
Cak Nun hadir dengan bahasa rakyat yang sederhana, penuh tembang dan kisah yang menyentuh batin.Dari kalangan gereja, Kardinal Julius Darmaatmadja hadir dengan doa dan seruan moral untuk damai. Suaranya merangkul, mengingatkan bahwa bangsa tidak boleh pecah hanya karena kegagapan elite.
Tokoh-tokoh inilah yang menjembatani jurang antara rakyat yang gelisah dan negara yang gagap mendengar. Mereka bukan pejabat, bukan aparat, bukan politisi. Tetapi suara mereka dipercaya. Anthony Giddens, sosiolog Inggris, pernah menulis bahwa trust atau keterpercayaan adalah perekat masyarakat modern. Tanpa trust, legitimasi runtuh. Tokoh kultural menghadirkan trust yang tak mampu disediakan negara.
BACA JUGA:Daftar 7 Korban Jiwa Aksi Demonstrasi Periode 25-30 Agustus 2025 di Indonesia
BACA JUGA:Aksi Demo Mulai Lagi di Surabaya, Flare Mulai Dinyalakan
Kini, kita kebanjiran tokoh populer, selebritas, dan influencer. Tetapi kita kekurangan tokoh kultural yang dipercaya lintas kelompok. Kita kehilangan jembatan moral itu.
BACA JUGA:DPR dan Demokrasi Berdampak
BACA JUGA:Ketua MPR RI: Korupsi Pengkhianatan terhadap Ruh Kemerdekaan dan Demokrasi
Tokoh kultural punya peran besar dalam menjaga agar ruang publik itu tetap hidup. Mereka menjembatani rakyat dan penguasa, memastikan komunikasi politik tidak hanya satu arah. Tanpa tokoh kultural, ruang publik kehilangan tiang moral. Demonstrasi bisa berubah jadi anarki, atau sebaliknya direpresi tanpa ada dialog.
Kelemahan komunikasi politik kita adalah bersembunyi di balik formalitas. Pemerintah lebih suka mengundang pejabat, ormas resmi, atau tokoh struktural. Tapi komunikasi formal jarang menyentuh aspirasi nyata.
Sementara, kaum muda tidak percaya lagi pada forum seremonial. Mereka memilih turun ke jalan atau bersuara di media sosial. Komunikasi sejati haruslah dialogis, bukan banking system yang hanya “mengisi” dari atas. Rakyat ingin didengar, bukan sekadar disuapi narasi.
Kehadiran Tokoh sebagai Jembatan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: