Empati yang Hilang: Membaca Pesan di Balik Gelombang Demo

ILUSTRASI Empati yang Hilang: Membaca Pesan di Balik Gelombang Demo.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Menurut penulis, syarat yang lebih penting adalah mereka memiliki empati. Kepekaan. Etikabilitas.
Terakhir, ada konferensi pers yang dilakukan di istana pascarapat paripurna menteri Kabinet Merah Putih terkait demo di Jakarta dan berbagai lokasi lainnya di tanah air.
Hal menariknya adalah yang menyampaikan keterangan adalah Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsuddin. Ia menyampaikan situasi terkini mengenai kondisi Indonesia dan langkah yang akan diambil pemerintah.
Terlepas dari isi pesannya, saya tertarik dengan pemilihan menteri pertahanan untuk menyampaikan hasil rapat istana dan tampil di media. Bukan karena beliau tidak punya kapasitas, tetapi kenapa harus menteri pertahanan?
Kenapa tidak wakil presiden atau menteri dalam negeri? Atau, juru bicara dari Kantor Komunikasi Presiden?
Tugas pokok dari kementerian pertahanan, berdasar Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2015, adalah membantu menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Pertanyaannya, apakah masyarakat, pembayar pajak, yang menyampaikan aspirasi dan kekecewaannya kepada penyelenggara negara yang dibiayai oleh pajak yang mereka bayarkan adalah ancaman bagi pertahanan negara?
Kenapa harus dikaitkan dengan campur tangan asing, konspirasi makar, ingin menggulingkan pemerintah? Cukup terima saja pendemo yang datang ke gedung DPR, lakukan komunikasi publik yang baik dengan berdialog. Kericuhan bisa diredam.
Ilmu intelijen memang ada di level yang berbeda. Namun, tidak bisakah pemerintah melihat jika tingkah laku dan kebijakan yang mereka ambil juga mengancam keberlangsungan negara ini? Sama mengancamnya dengan campur tangan bangsa asing. Yuk, pikirkan... (*)
*) Ramadhan Pohan adalah pengajar S-2 komunikasi politik dan mantan anggota DPR RI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: