Orasi di Hadapan Patung Bernyawa

Orasi di Hadapan Patung Bernyawa

ILUSTRASI Orasi di Hadapan Patung Bernyawa.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

”MEREKA tuli, bisu, dan buta, maka mereka tidak akan kembali (ke jalan yang benar).” Demikianlah firman Tuhan yang terpatri dalam surah Al-Baqarah ayat ke-18. Secara harfiah, ayat itu melukiskan kondisi kaum munafik di masa lampau yang, meski telah disajikan kebenaran yang terang benderang, memilih untuk menutup indra mereka. 

Telinga mereka enggan mendengar seruan kebaikan, lisan mereka terkunci dari mengakui kebenaran, dan mata mereka terpejam dari melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.

BACA JUGA:5 Tip Meningkatkan Rasa Percaya Diri Saat Berorasi

Namun, Al-Qur’an bukanlah sekadar catatan sejarah masa lalu. Ia adalah cermin agung yang memantulkan kondisi manusia di setiap zaman. 

Ayat tersebut bukan hanya vonis bagi mereka yang telah tiada, melainkan juga sebuah diagnosis spiritual dan sosial yang bisa menjangkiti siapa saja, terutama mereka yang diamanahi kuasa. 

Ia adalah pengingat tentang betapa berbahayanya kondisi saat indra tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.

Dalam beberapa terakhir, negeri kita kembali menjadi panggung bagi riuh rendah suara-suara yang menggema. Jalanan, dari kota metropolitan hingga pelosok daerah, menjadi kanvas bagi tumpahan keresahan. 

Tidak hanya di dunia nyata, ruang-ruang digital pun bergetar oleh tagar yang bersahutan, utas-utas panjang yang mengurai masalah, serta meme-meme satire yang tajamnya melebihi belati.

Itu bukanlah sekadar kebisingan. Jika kita sudi membuka telinga batin, apa yang terdengar adalah sebuah simfoni harapan dan kecemasan. 

Ada suara petani yang khawatir akan nasib tanahnya, rintihan buruh yang menuntut upah layak, keluhan mahasiswa tentang masa depan pendidikan, dan bisik-bisik rakyat kecil yang terimpit oleh kebijakan yang tak memihak mereka. Semua itu menyatu menjadi gema besar yang menuntut untuk didengar.

Di tengah simfoni itu, berbagai tulisan dan orasi lahir. Spanduk dibentangkan dengan kalimat-kalimat yang lugas sekaligus puitis. Dinding-dinding media sosial dipenuhi argumen yang dibangun dengan data dan hati. 

Itu adalah ikhtiar kolektif untuk berbicara, untuk menerjemahkan apa yang terasa di dada menjadi kata-kata yang bisa dipahami, menjadi tuntutan yang jelas dan terartikulasi.

Pemandangan yang tersaji pun tak kalah kaya makna. Lautan manusia yang bergerak dalam satu irama, poster-poster kreatif yang menjadi medium kritik jenaka, serta potret-potret wajah lelah namun penuh asa. 

Semua itu adalah pemandangan nyata yang seharusnya membuka mata, sebuah bukti visual bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan, ada denyut nadi keresahan yang begitu kuat di jantung bangsa ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: