Burden Sharing, Independensi Bank Indonesia, dan Potensi Risiko Fiskal

ILUSTRASI Burden Sharing, Independensi Bank Indonesia, dan Potensi Risiko Fiskal.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Bank Indonesia Prediksi Puncak Inflasi Terjadi Maret, Ada Apa?
Sebagian dana itu akan dialokasikan untuk membiayai sejumlah program populis Presiden Prabowo Subianto.
Program yang tengah digeber, antara lain, adalah program perumahan rakyat yang berjumlah tiga juta unit selama kurun lima tahun ke depan dan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di seluruh pelosok negeri.
Burden sharing secara teknis adalah sebuah kebijakan bersama yang melibatkan BI dengan pemerintah di mana pembagian beban dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening pemerintah yang ada di BI.
Hal itu sejalan dengan peran BI sebagai pemegang kas pemerintah sebagaimana Pasal 52 Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK juncto Pasal 22 serta selaras dengan Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Meski begitu, sejumlah ekonom mengkhawatirkan, skema burden sharing yang terlalu sering dilakukan akan berpotensi menggerus independensi BI selaku pemegang otoritas moneter yang idealnya harus imun dari campur tangan pemerintah. Tapi, benarkah demikian?
MITIGASI RISIKO
Terdapat beberapa konsekuensi yang muncul akibat implementasi burden sharing yang dikhawatirkan para ekonom.
Pertama, jika dilakukan bukan pada situasi darurat, akan mendorong ketidakpercayaan pasar terhadap independensi BI dari tekanan pemerintah sehingga dapat memicu kenaikan inflasi.
Sebab, persepsi pasar menangkap bahwa kebijakan itu seolah-olah terjadi ”penambahan” uang baru yang beredar di pasar yang diinjeksi otoritas bank sentral.
Kondisi itu, jika dibiarkan berlarut, berpotensi menimbulkan arus modal keluar karena pasar membaca figur otoritas bank sentral sudah tidak independen lagi.
Kedua, dengan adanya burden sharing, kewajiban pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal makin luntur. Keputusan itu dapat dianggap menambah beban bagi BI.
Kebijakan sektor moneter yang dikelola BI seharusnya tidak boleh digunakan untuk melonggarkan kebijakan fiskal.
Idealnya, kebijakan fiskal bisa dicapai dengan cara realokasi anggaran, prioritas penggunaan untuk program-program yang mendesak dan sebagainya, tetapi tetap dengan kehati-hatian.
Ketiga, situasi darurat Covid-19 yang memperkenankan implementasi burden sharing tidak bisa gegabah dilakukan pada situasi normal seperti saat ini meski dengan pembebanan bunga rendah. Burden sharing akan membebani BI karena menambah ekposur terhadap neraca keuangan Bank Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: