Memetakan Perang Narasi di Balik Panggung Demokrasi

ILUSTRASI Memetakan Perang Narasi di Balik Panggung Demokrasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BEBERAPA HARI TERAKHIR gelombang demonstrasi kembali membanjiri jalanan kota di Indonesia. Jika kita jeli mengamati, apa yang terlihat di lapangan hanyalah puncak dari sebuah gunung es. Di balik kerumunan massa, orasi lantang, dan spanduk berwarna-warni, sedang berlangsung pertarungan narasi yang jauh lebih masif di ruang digital.
Media sosial pada masa kini tidak sekadar menjadi kanal dokumentasi, tetapi juga menjadi panggung perebutan narasi. Arena setiap pihak berupaya menjadi narasi tunggal yang mengendalikan opini publik.
Melalui paradigma post-modernisme, kita bisa membaca demonstrasi masa kini bukan hanya sebagai aksi politik jalanan, melainkan juga perang narasi di media sosial. Pemerintah, media, dan masyarakat tidak sekadar menjadi aktor, tetapi juga produsen wacana yang saling berkompetisi.
Hashtag, meme, konten feeds hingga video viral berfungsi layaknya pamflet baru yang menyebar jauh lebih cepat daripada selebaran jalanan. Paradigma semacam itu penting untuk kita sadari dan refleksikan untuk siap memahami banjirnya kontestasi narasi di masa yang akan datang.
RUNTUHNYA OTORITAS TUNGGAL PEMBUAT NARASI
Era post-modernisme ditandai dengan runtuhnya otoritas tunggal dalam menentukan kebenaran dan narasi publik. Jika pada masa lalu pemerintah dan media konvensional menjadi pengendali utama arus informasi, kini situasinya berubah drastis.
Revolusi digital membuka ruang bagi munculnya aktor-aktor baru yang tidak lagi tunduk pada hierarki lama. Media sosial menghadirkan kondisi siapa pun dapat menjadi penyampai, pembentuk, bahkan penggugat kebenaran.
Otoritas yang dulu terpusat kini tercerai-berai ke banyak tangan hingga menjadikan ruang publik makin cair, tetapi penuh ketidakpastian.
Beberapa akademisi kajian media dan budaya pun telah mengeluarkan peringatan datangnya realitas baru ini. Nick Couldry dalam Social Theory and Digital Media Practice menyebut media sosial sebagai mediasi baru yang menempatkan masyarakat setara dengan negara dalam menentukan narasi.
Jay Rosen dalam The People Formerly Known as the Audience bahkan menegaskan, publik yang dulu hanya dipandang sebagai audiens kini menjelma menjadi prosumer alias konsumen sekaligus produsen informasi.
Sementara itu, Manuel Castells dalam Networks of Outrage and Hope menunjukkan bahwa jaringan digital di era sekarang menciptakan kesempatan baru bagi mobilisasi sosial yang melampaui batas negara maupun sensor media konvensional.
Bila kita memahami peringatan dari akademisi tersebut, dampaknya sungguh luar biasa. Masyarakat sekarang dianggap tidak lagi pasif, tetapi aktif menciptakan dan menyebarkan narasi.
Sayangnya, di waktu bersamaan kondisi itu juga menimbulkan paradoks. Banjir informasi justru sering melahirkan fragmentasi sehingga publik lebih memilih untuk memercayai narasi yang sejalan dengan keyakinannya sendiri. Tentu hal itu dapat menciptakan polarisasi makin tajam.
TIGA POROS PERANG NARASI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: