Pancasila Kita Masih Sakti?: Refleksi Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2025

Pancasila Kita Masih Sakti?: Refleksi Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2025

ILUSTRASI Pancasila Kita Masih Sakti?: Refleksi Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2025.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Nilai-Nilai Pancasila dan 80 Tahun Indonesia Merdeka

Kejaksaan Agung mencatat kerugian negara sekitar Rp310 triliun dan kejaksaan menangani 2.306 perkara korupsi. PPATK mencatat transaksi terkait korupsi mencapai Rp984 triliun dan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik menjadi 37 dari 180 negara. 

Sementara itu, KPK menyebut pihak swasta sering kedapatan menjadi pihak yang memberikan suap karena terlibat dalam pengadaan barang dan jasa penyelenggara negara. Pihak terbesar kedua yang ditangkap KPK berasal dari pejabat pelaksana: Pejabat dari eselon 1, 2, 3, hingga eselon 4. 

Pihak berikutnya adalah anggota DPR dan DPRD sebanyak 344, wali kota dan bupati sebanyak 161, dan gubernur sebanyak 24. Data-data tersebut sampai saat ini bergerak makin meningkat menyusul bertambahnya para politikus yang berurusan dengan aparat penegak hukum. 

Dengan demikian, sangat logis negeri ini sedang darurat korupsi. Korupsi telah melabrak nilai-nilai ketuhanan dan kemanusaiaan dan menjadikan sila pertama dan kedua menjadi keuangan yang maha esa dan kemanusaiaan yang jahil dan beradab. 

Di bidang ekonomi, sistem ekonomi Pancasila yang lebih mendasarkan pada ekonomi kerakyatan (baca: Pasal 33 UUD 1945), misalnya, dalam praktik perekonomian nasional telah berubah wujud menjadi ekonomi liberal-kapitalisme. 

Indikasi yang paling telanjang adalah lahirnya peraturan perundangan-undangan yang pro-asing/kapitalis, menjamurnya pasar-pasar supermodern dan pada saat yang sama regulasi tersebut menghancurkan pasar tradisional. 

Terkait dengan ketimpangan sosial-ekonomi, studi terbaru dari Celios menunjukkan kekayaan gabungan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia pada 2024, dengan total kekayaan 50 orang tersebut mencapai Rp5.243,07 triliun. 

Angka itu menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun 2019, ketika total kekayaan mereka hanya sekitar Rp2.470,57 triliun. Fakta tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi di negeri ini sungguh memprihatinkan. 

Sebuah realitas sosial-ekonomi yang sangat ironis dan tragis terjadi di negara Pancasila dan menjadikan sila kelima menjadi ”keadilan bagi segelintir orang Indonesia”.  

Bidang penegakan hukum masih diwarnai tebang pilih dan bagaikan pisau. Penegakan hukum tajam ke bawah: mudah menjerat kaum papa. Sebaliknya, tumpul ke atas: tak mampu menjerat kalangan atas yang punya akses ekonomi dan politik-kekuasaan. 

Berbagai persoalan bangsa yang kompleks dan silih berganti itu memperlihatkan negara ini berjalan laiknya tanpa ideologi (Pancasila). 

DEGRADASI PANCASILA 

Kesaktian Pancasila sedang mengalami degradasi kompleks. Realitas empiris di atas menunjukkan bagaimana negara berjalan tanpa atau kehilangan panduan ideologisnya. Nasib Pancasila sungguh mengenaskan. 

Para penyelenggara negara ini sudah terjangkit penyakit amnesia atas ideologinya sendiri. Kondisi itu pernah disampaikan mantan Persiden B.J. Habibie saat berpidato tentang Pancasila pada 1 Juni 2011: Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: