Pancasila Kita Masih Sakti?: Refleksi Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2025

ILUSTRASI Pancasila Kita Masih Sakti?: Refleksi Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2025.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Pancasila kian jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang makin hiruk pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Nasib Pancasila memang mengenaskan. Sebagai ideologi negara, Pancasila tak ubahnya seperti sebuah kata-kata saja yang mudah diucapkan ketika acara seremonial negara.
Menurut Habibie, setidaknya ada dua sebab mengapa ideologi Pancasila mengalami marginalisasi.
Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional, maupun global.
Perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini.
Kedua, terjadinya euforia reformasi sebagai akibat traumatik masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila.
Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru berimplikasi pada munculnya ”amnesia nasional” tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai norma dasar yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik.
Dengan demikian, keberadaan Pancasila saat ini seperti antara ada dan tiada.
Secara fisik ada dan bahkan kerap kali Pancasila dijadikan ”mantra dan pajangan” dalam berbagai kegiatan formal kenegaraan. Namun, sebenarnya tiada. Sebab, nilai-nilai dasar Pancasila tidak mewujud secara riil dalam pola perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Yang lebih parah lagi, tidak adanya keteladanan dari para pemimpin negeri ini. Justru para pemimpin kerap kali menjadi masalah dan sumber masalah negeri ini. Berbagai problematika yang terus mendera bangsa ini menjadi bukti empirisnya.
Di tengah problematika bangsa yang kompleks seperti sekarang ini, sudah saatnya kita, terutama para penyelenggara negeri ini, membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara riil dan konsisten.
Bahkan, bukan sekadar pembumian, dalam bahasa Yudi Latif (2015), kita perlu melakukan apa yang disebut sebagai revolusi Pancasila.
Yakni, suatu ikhtiar perubahan mendasar (secara akseleratif) pada sistem sosial (meliputi ranah material, mental, politikal) berlandasakan prinsip-prinsip Pancasila, dalam usaha mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewarganegaraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (materiil dan spiritual).
Para penyelenggara negara ini perlu diingatkan dengan pernyataan Jenderal A.H. Nasution. Yaitu, Pancasila sebagai ideologi satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia sehingga menjadi landasan yang sesuai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)
*) Umar Sholahudin adalah dosen sosiologi, FISIP, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, dan Pengurus APSSI 2021–2025.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: