Uskup Surabaya Mgr Agustinus Tri Budi Utomo Buka Pameran Sabda Telah Menjadi Rupa, Karya Dua Imam Katolik

Uskup Surabaya Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo membuka dan menyaksikan pameran lukisan Sabda Telah Menjadi Rupa. Pameran itu berlangsung sejak 5 hingga 9 Oktober 2025 di Galeri Merah Putih, Balai Pemuda, Surabaya.-Tirtha Nirwana Sidik-HARIAN DISWAY
"Jika sisi apresiatif itu tak ada, maka sebuah kota tidak lagi menjadi reflektif," pungkas Mgr Agustinus.
Karya keduanya memuat beragam hal yang berkorelasi dengan iman Katolik. Namun, ada kalanya perwujudan karya itu terinspirasi dari fenomena sehari-hari. Bahkan ritus dari agama lain.
BACA JUGA:Swiss-Belinn Tunjungan Surabaya Ubah Hotel Jadi Galeri Seni, Hadirkan Pameran Lukisan Setahun Penuh
Seperti karya Rm Stefanus Ruswan yang berjudul Air Penyuci Jiwa. Tampak figur perempuan sedang bermandi air yang mengucur dari pancuran. Gambaran itu diambil dari tradisi Melukat di Bali.
"Air dalam agama apa pun punya posisi profan. Sebagai sarana menyucikan diri. Begitu pula dalam Katolik. Seorang Katolik dibaptis menggunakan air," ungkap Rm Ruswan.
"Dalam Ekaristi, ada anggur yang disucikan dengan air. Simbol kehadiran Kristus dalam diri. Itulah pemaknaan terkait sakralitas air yang saya lakukan melalui karya Air Penyuci Jiwa," ungkapnya.
BACA JUGA:Ragam Ekspresi Perupa Kediri dalam Pameran Lukisan Nyambung Roso
Ada pula karya lainnya berjudul Lakon Kehidupan. Figur perempuan berpakaian kemben ala Jawa, memegang wayang kulit malaikat.
"Lukisan itu adalah pelokalan kisah tentang Bunda Maria yang mendapat wahyu dari Tuhan. Busana dan nuansa Jawa bermaksud bahwa ajaran Kristus dapat melebur. Diterima dalam semua bentuk kebudayaan. Termasuk budaya Jawa," ujar imam Katolik yang juga Procurator Misionaris Ordo Keluarga Kudus tersebut.
Sedangkan karya Rm Suga Sen, salah satunya berupa pemandangan Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Di lereng gunung tersebut, terdapat beberapa anak lelaki bermain musik. Seorang perempuan menari di tengah iringan musik tersebut.
BACA JUGA:Pameran Lukisan NYALA: 200 Tahun Perang Diponegoro Refleksikan Perjuangan Pangeran Diponegoro
Judulnya, Simfoni di Kaki Merbabu. "Itu merupakan perwujudan harmoni. Kesatuan. Tanpa kesatuan dalam memainkan irama musik, keselarasan itu tidak akan tercipta," ungkapnya.
Dalam konteks lebih luas, karya itu menunjukkan bahwa perbedaan dapat dipandang sebagai sarana untuk mendukung satu sama lain.
"Perbedaan itu bukan masalah. Justru perbedaan itu harus kita sikapi dengan sukacita. Seperti tergambar dalam figur penari itu," ungkap pria 50 tahun itu.
BACA JUGA:HadiArtPlatform Gelar Pameran Lukisan Di Pelupuk Mata, Hadirkan 5 Perupa Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: