Job Hugging vs Job Hopping: Paradigma Karier di Tengah Krisis Ekonomi

Job Hugging vs Job Hopping: Paradigma Karier di Tengah Krisis Ekonomi

ILUSTRASI Job Hugging vs Job Hopping: Paradigma Karier di Tengah Krisis Ekonomi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Kepastian Karier Dosen Menjadi Guru Besar

Masalahnya, rasa nyaman itu sering membuat kita enggan berubah hingga tanpa sadar justru menghambat perkembangan diri.

Bertahan terlalu lama di zona aman membawa risiko yang tak kalah besar. Keterampilan bisa usang, motivasi memudar, dan rasa ingin tahu perlahan hilang. Hari-hari terasa monoton, berjalan seperti salinan yang sama –berulang tanpa kejutan. 

Sementara itu, di luar sana, dunia berubah setiap jam, selalu update. Mereka yang tak ikut bergerak akan tertinggal, bukan karena kalah pintar, melainkan karena berhenti menyesuaikan diri.

Sebaliknya, pegawai yang sering pindah-pindah kerja –para job hopper– sering dipandang lebih dinamis dan berani mengambil risiko. Mereka mencari tantangan, lingkungan baru untuk belajar, memperluas jaringan, atau menemukan makna yang lebih sesuai. 

Namun, melompat tanpa arah juga berisiko. Terlalu sering pindah bisa mengaburkan fokus dan membuat seseorang kehilangan kedalaman. Setiap awal pekerjaan terasa segar, tapi belum sempat menanam akar, sudah harus menyesuaikan lagi. Stabilitas dan rasa aman juga terganggu karena masa tunggu yang tidak pasti.

Kedua ekstrem itu sama-sama tidak ideal. Bertahan terlalu lama bisa membuat stagnan, sedangkan berpindah terlalu sering justru membuat penghasilan tak menentu dan rasa aman terganggu. 

Yang dibutuhkan adalah keseimbangan: tahu kapan harus menetap dan kapan perlu melangkah. Kadang, bukan tempatnya yang salah, melainkan cara kita memaknainya.

Bagi organisasi, fenomena itu punya dampak nyata. Bila tidak disikapi dengan cerdas, tentu akan sangat berisiko. Karyawan yang bertahan tanpa semangat bisa mengganggu produktivitas dan memperlambat inovasi. Perusahaan tetap berjalan, tapi kehilangan energi segar. 

Sementara itu, karyawan yang terlalu cepat keluar membuat tim sulit membangun budaya yang solid. Keduanya bisa diantisipasi bila perusahaan membangun empati, memberikan ruang bagi orang untuk tumbuh, bukan sekadar bekerja.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan pentingnya prinsip keadilan dalam rekrutmen pegawai. Ia menerbitkan surat edaran pada 28 Mei 2025 yang melarang praktik diskriminasi dalam proses rekrutmen, termasuk persyaratan usia dan penampilan. 

”Surat edaran itu diterbitkan untuk mempertegas komitmen pemerintah terhadap prinsip nondiskriminasi agar proses rekrutmen tenaga kerja dilakukan secara fair dan objektif,” ujarnya. Pernyataan itu relevan dengan realitas banyak pegawai yang sulit berpindah karena faktor administratif, bukan karena skill dan kompetensi.

Namun, tanggung jawab untuk tumbuh tidak bisa diserahkan kepada organisasi. Setiap pekerja perlu refleksi diri. Apakah masih ada yang perlu dipelajari di tempat ini? Apakah pekerjaan ini masih menumbuhkan saya? 

Jika jawabannya ”tidak,” mungkin sudah waktunya menata langkah kecil –mengikuti short course, membangun jejaring baru, atau mencoba hal di luar rutinitas. Perubahan besar sering berawal dari keberanian kecil untuk belajar lagi.

Menaker Yassierli juga menyoroti pentingnya pendekatan baru dalam menghadapi perubahan dunia kerja. Dalam forum ketenagakerjaan September 2025, ia mengatakan, Indonesia membutuhkan pendekatan baru untuk menjawab tantangan dunia kerja. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: