Job Hugging vs Job Hopping: Paradigma Karier di Tengah Krisis Ekonomi

Job Hugging vs Job Hopping: Paradigma Karier di Tengah Krisis Ekonomi

ILUSTRASI Job Hugging vs Job Hopping: Paradigma Karier di Tengah Krisis Ekonomi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BANYAK pegawai yang bertahan di pekerjaan lama bukan karena cinta, melainkan karena takut kehilangan rasa aman. Setiap hari mereka datang tepat waktu, menuntaskan laporan, menyapa rekan kerja, tapi jauh di dalam hati ada rasa jenuh yang sulit dijelaskan. 

Ingin melangkah, tapi ragu. Ingin pindah, tapi takut. Takut kehilangan stabilitas yang sudah dibangun bertahun-tahun.

Fenomena itu dikenal sebagai job hugging –kecenderungan untuk bertahan di pekerjaan lama meski motivasi telah menurun drastis. Sebaliknya, job hopping menggambarkan mereka yang suka berpindah tempat kerja untuk mencari tantangan dan peluang baru. 

BACA JUGA:Pemprov Jatim Hadirkan Job Fair di Surabaya, Ada 5.589 Lowongan untuk Dalam dan Luar Negeri!

BACA JUGA:Pengangguran Terbuka Jatim Tinggi, Bunda Renny Soroti Peran Millenium Job Centre

Keduanya menjadi dua kutub dalam dinamika karier di era disrupsi saat ini: antara kebutuhan untuk aman dan dorongan untuk berkembang.

Kita sedang hidup di masa yang tak menentu. Ekonomi global bergejolak. Ekonomi lokal melakukan efisiensi besar-besaran. Banyak perusahaan yang menahan rekrutmen, sedangkan teknologi melaju lebih cepat dari kesiapan manusia untuk beradaptasi. 

Dalam situasi seperti itu, rasa aman menjadi barang mewah. Maka, bertahan di pekerjaan lama terasa seperti keputusan rasional meski semangat bekerja sudah memudar.

BACA JUGA:6 Ide Side Job yang Bisa Dilakukan untuk Menambah Pemasukan Saat Ramadan

BACA JUGA:Alpha Female, Antara Karier dan Kehidupan Pribadi

Fenomena itu bahkan menjadi perhatian media massa internasional. Fast Company menggambarkan job hugging sebagai kecenderungan pekerja memeluk erat pekerjaan mereka seolah pelampung di tengah badai –tanda keresahan yang melintasi batas negara di tengah ketidakpastian ekonomi dan disrupsi teknologi. 

Sementara itu, HR Dive mencatat bahwa banyak karyawan tetap berada di pekerjaan hanya karena takut kehilangan pekerjaan Dalam kondisi itu, ada kemungkinan mereka hanya menjalani rutinitas tanpa gairah, tanpa keterlibatan emosional yang mendalam. Dua pengamatan itu seolah mencerminkan kegelisahan universal: antara ingin berubah dan ingin bertahan.

Menurut teori job embeddedness, seseorang bisa ”melekat” pada pekerjaannya karena tiga hal: hubungan sosial, kecocokan nilai, dan sesuatu yang berharga jika ditinggalkan. Teman kantor yang sudah akrab, lingkungan yang nyaman, dan tunjangan yang menjaga kestabilan finansial sering kali menjadi alasan kuat untuk tetap tinggal. 

BACA JUGA:Karier dan Feminitas: Dua Sisi Koin Perempuan Modern

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: