Bola Politik

Bola Politik

ILUSTRASI Bola Politik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Gasing Bola Bikin Presiden Pusing

Sampean juga pasti merasa bahwa euforia bangsa ini tentang menteri keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, bisa menjadi energi baru bagi pemerintahan ini. Seperti halnya timnas Garuda, kehadiranya sebagai menteri baru dengan pendekatan dan gaya selebornya telah melahirkan mimpi baru: perbaikan ekonomi yang sempat stagnan.

Tentu kita senang dengan suasana itu. Namun, seperti di sepak bola, kita tetap perlu menyisakan ruang untuk kenyataan sebaliknya. Tak perlu bergantung sepenuhnya kepada seseorang. 

Yang kita harapkan dari hadirnya Purbaya adalah menata sistem ekonomi baru yang lebih berkeadilan. Seperti yang sering disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam setiap kesempatan.

BACA JUGA:Berlusconi dan Politik Sepak Bola

BACA JUGA:Jalan Sepi Buku-Buku Olahraga dan Sepak Bola Indonesia

Mengapa demikian? Seperti sampean semua sudah tahu, setiap kali muncul tokoh baru atau jargon perubahan, kita selalu gampang terkesima. Mudah terbelalak. Seperti penonton yang berharap pelatih baru akan membuat tim langsung juara. Kita terbiasa terbius oleh karisma, bukan kinerja. 

Padahal, negara modern dibangun bukan oleh sosok. Melainkan, oleh sistem yang bekerja meski sosoknya berganti. Seperti klub besar Eropa, bangsa besar hanya bisa maju jika memiliki filosofi pembangunan yang konsisten. Bukan sekadar slogan lima tahunan.

Seperti yang terjadi pada timnas kita, mimpi besar tanpa manajemen adalah utopia. Garuda telah menunjukkan api semangat rakyat yang luar biasa. Namun, api itu perlu dapur yang kokoh. Bukan sekadar obor dadakan. 

Pemerintah, federasi, dan publik perlu belajar menjadi bagian dari satu kesatuan permainan. Ada yang berlari di sayap. Ada yang menahan di tengah. Ada yang mengatur tempo. Semua punya peran. Tak boleh saling menuding ketika kalah.

Kegagalan timnas tentu bukan akhir kisah Garuda. Pun, kegagalan politik bukan akhir dari bangsa. Namun, semuanya akan berulang kalau tak belajar dari pengalaman ini. Kita tak akan beranjak jika terus membiasakan budaya instan. Apalagi, mencari kambing hitam setiap kali gagal dengan membiarkan semangat rakyat meluap tanpa arah.

Saatnya kita memperlakukan politik seperti sepak bola. Dalam keteraturan saat bersaing. Dalam melahirkan harapan-harapan. Dalam menghadirkan kebanggaan baru setiap kali laga. Saat memberi spirit menyatukan orang dari berbagai latar belakang dan kepentingan.

Kita perlu mengonversi kultur dan gairah yang meluap terhadap bola dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bayangkan, jika semangat suporter yang rela menempuh ribuan kilometer demi mendukung Garuda bisa kita salurkan ke dalam kesabaran membangun desa, memperbaiki birokrasi, atau menanam pohon tanpa berharap pujian? Pasti itu akan menjadi bentuk cinta tanah air yang ciamik.

Sepak bola bukan sekadar bola bundar. Ia adalah tentang bagaimana kita mengelola arah putarannya. Politik juga bukan sekadar tentang siapa yang sedang memegang bola kekuasaan. Tapi, bagaimana ia mengoperkannya agar tim bernama Indonesia bisa mencetak gol kemajuan bersama.

Garuda boleh gagal di Jeddah. Tapi, bangsa ini tak boleh gagal belajar. Kita perlu menjaga api semangat tanpa membakar diri. Sebab, kemenangan sejati bukan ketika peluit akhir berbunyi. Tapi, ketika kita mampu tetap berdiri, menatap ke depan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: