Bola Politik

Bola Politik

ILUSTRASI Bola Politik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

MINGGU subuh kemarin bisa kita anggap sebagai hari duka nasional. Sebab, mimpi bangsa tentang tim nasional sepak bola kita akan terus lolos ke Piala Dunia telah terkubur. Bersama kemenangan tipis timnas Irak di Stadion King Abdullah Sport City, Jedah, Arab Saudi.

Bangsa ini menangis. Bukan hanya pemain yang meneteskan air mata. Ratusan juta pasang mata di negeri ini ikut berlinang. Hati mereka nyesek semua. Harapan baru akan hadirnya kebanggaan baru dari bangsa ini telah hilang. Timnas yang digdaya. Yang bisa berlaga di kasta tertinggi sepak bola dunia empat tahunan.

Setiap timnas Garuda berlaga, bangsa ini seperti menahan napas bersama. Stadion bergemuruh. Jalanan sunyi. Dan, media sosial menjadi arena doa serta pujian. Selalu jadi masa euforia nasional. Sebuah energi sosial yang menggetarkan. Seolah seluruh perbedaan lenyap dalam satu nyanyian Indonesia Raya.

BACA JUGA:Kartu Kuning Mafia Bola

BACA JUGA:”Martir” Damai Sepak Bola

Sayang, mimpi besar itu terhenti di tengah jalan. Selangkah menjelang babak akhir: Piala Dunia. Kekalahan timnas Garuda dari Irak membuat mimpi itu kembali terjaga: ternyata gairah tak cukup bila tak diiringi tata kelola yang matang. Kekalahan itu menyadarkan semua, haruskah selalu harapan baru berakhir seperti ini?

Jika kita menganggap sepak bola sebagai miniatur kehidupan bernegara, apa yang menimpa timnas kita sebetulnya gambaran kita senyatanya. Di sana ada strategi, kepemimpinan, sistem, dan disiplin kolektif. Setiap negara akan maju jika semua itu berjalan beriringan secara berkelanjutan.

Pergantian pelatih di tengah kompetisi adalah gambaran telanjang dari kebiasaan yang mudah terpukau oleh yang baru. Cepat mengganti arah tanpa mengoreksi fondasi. Kita sering berpikir seperti pedagang pasar yang menilai kesegaran ikan dari warna matanya. Bukan dari kualitas laut tempat ia tumbuh. 

BACA JUGA:Sekularisasi Bola

BACA JUGA:Bola Identitas

Apa yang kemudian terjadi? Kita terbiasa sibuk gonta-ganti pemimpin atau pelatih. Namun, lupa menata sistem pembinaan dan kultur yang menopangnya. Padahal, sepak bola –seperti politik– bukan soal siapa yang paling cepat mencetak gol. Tetapi, siapa yang paling konsisten memainkan pola permainan. 

Jerman butuh dua dekade untuk membangun sistem akademi dan filosofi bermain yang akhirnya berbuah juara dunia. Sebaliknya, kita sering tersesat di tikungan pertama. Lalu, menyalahkan jalan, bukan arah. Kita sering mabuk hasil lupa proses. Seolah kemenangan bisa dipesan seperti tiket konser. Tanpa perlu berlatih berbulan-bulan di lapangan.

Kita tahu, euforia yang menggelora merupakan modal sosial yang mahal. Seperti aliran listrik tegangan tinggi. Jika tersalurkan dengan sistem yang benar, bisa menerangi apa saja. Sebaliknya, jika salah sambung, bisa membakar rumah sendiri. Kita terbiasa melihat energi publik yang meluap. Tapi, tak menyiapkan kanal yang memadai.

BACA JUGA:Mafia Bola dan Piala Dunia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: