”Martir” Damai Sepak Bola

”Martir” Damai Sepak Bola

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

MELIHAT lilin dukacita teman-teman Bonek sebagai empati terhadap tragedi Kanjuruhan, Malang, saya teringat tsunami Aceh 2004.

Sama-sama tragedi yang memilukan. Begitu banyak korban. Rasanya berapa pun yang meninggal dunia tetap sebuah kejadian memilukan. Apa pun penyebabnya tetap kesedihan.

 Satu orang pun yang meninggal tetap tragedi kemanusiaan yang bikin sesak dada. Apalagi lebih dari seratus jiwa seperti di Malang atau lebih dari 200 ribu jiwa di Aceh.

Monster yang bernama tsunami 18 tahun lalu telah menggerakkan manusia Aceh untuk berdamai. GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang berada di hutan keluar untuk berdamai. Mereka bersatu dengan seluruh masyarakat Aceh untuk saling berempati. Sejak itu, Aceh pun hidup dalam damai.

Tragedi Aceh dan Malang memang dua hal berbeda. Di Aceh, bencana alam. Di Malang, ada faktor human error penanganan suporter. Setelah bencana Aceh, yang berdamai separatis dengan pemerintah. Pasca kejadian Malang, suporter yang berdamai. 

Tapi, bukan membanding perbedaan itu yang menjadi fokus tulisan ini. Pesan yang ingin disampaikan, apa pun tragedi kemanusiaan yang terjadi membuat kita saling berempati. Di tingkat apa pun permusuhan, rivalitas, dan persaingan, nilai kemanusiaan tetap yang paling tinggi.

Tragedi Kanjuruhan menggerakkan empati semua pencinta bola untuk bersatu. Kita berada dalam kesadaran bahwa kita ini sesama manusia. 

Sikap Bonek luar biasa. Spontanitas untuk menyambut Persebaya yang mengalahkan Arema, secara spontanitas juga bubar jalan begitu mengetahui ada tragedi memilukan seusai pertandingan. Spontanitas euforia kemenangan dihentikan oleh spontanitas empati. Spontanitas dihentikan spontanitas.  

Selain rasa empati dengan ucapan duka, muncul ide para pentolan Bonek akan datang langsung ke markas Arema untuk menyatakan belasungkawa. Tentu ini ide positif. 

Di Klaten, 5 Oktober, atau empat hari setelah kejadian duka itu, Pasoepati –sebutan suporter Persis Solo– bertemu dengan suporter PSIM Yogyakarta. Sepakat damai. Dua kelompok suporter itu juga dikenal sering bentrok saat derbi Mataram, Persis vs PSIM. 

Persib Bandung vs Persija Jakarta juga selalu panas. Tidak kalah tegang dengan Persebaya vs Arema. Sepanjang pertemuan mereka, tak jarang muncul kerusuhan. Pertemuan terakhir mereka seharusnya sehari setelah tragedi Kanjuruhan. Ditunda tanpa batas waktu. Bila itu tetap berlangsung, potensi ricuh tetap ada.

Rivalitas bisa karena sejarah. Seperti Madrid vs Barcelona, el clasico La Liga. Sejak pertemuan pertama mereka 13 Mei 1902, selalu tensi tinggi. Bergantian juara. Adu gengsi. Boleh tersandung tim lain, tapi tidak dengan seterunya. Di Indonesia ini, ada PSMS Medan vs Persija Jakarta. Cuma, PSMS masih berkutat di Liga 2.

Napoli vs Juventus juga memunculkan rivalitas sengit di Serie A, Italia. Apalagi di era Maradona. Yang itu karena kelas sosial. Napoli yang dari selatan identik dengan kemiskinan dan kaum pinggiran. Pendukungnya selalu bersemangat melawan tim utara, terutama Juventus, tim kaya raya. Masyarakat di utara lebih makmur. Di era Maradona, jurang sosial selalu diembuskan. Pertandingan pun selalu panas.

Yang paling banyak rivalitas adalah derbi kawasan atau kota. Mereka ingin menjadi raja di situ. Di Italia ada Derby della Medonnina, yakni Milan vs Inter yang selalu panas. Ada juga Derby Merseyside, yaitu Liverpool vs Everton, di Inggris. derbi kawasan di Indonesia, yakni Persebaya vs Arema dan Persija vs Persib, lebih panas. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: