Prahara Bertetangga dan Gagalnya Pengetahuan: Konflik Yai Mim dan Sahara
ILUSTRASI Prahara Bertetangga dan Gagalnya Pengetahuan: Konflik Yai Mim dan Sahara.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Namun, kedua intelektual tersebut tetap berseteru. Tidak saling mengalah. Tidak bisa hidup berdampingan secara harmonis sebagai tetangga, seakan-akan ilmu pengetahuan yang dimiliki keduanya sulit diterapkan.
Jangankan untuk berkolaborasi antardisiplin ilmu pengetahuan demi kemajuan masyarakat, menyelesaikan dan resolusi konflik antarindividu saja belum bisa diterapkan.
Pertikaian dua intelektual itu menarik untuk diamati. Tidak hanya di ruang digital, tetapi juga telah menjadi pembicaraan serius di warung-warung kopi. Masyarakat pro dan kontra, berpihak kepada Sahara atau mendukung Yai Mim.
Banyak yang melakukan evaluasi dan kritik terhadap kasus itu. Apakah paradigma pendidikan kita salah? Kurikulum yang disusun memang berjarak dengan masyarakat? Teori tidak bisa berjalan beriringan dengan praktik sosial? Dsb.
Pepatah ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari” kiranya perlu mendapatkan refleksi ulang. Seorang intelektual, dosen, pengajar tidak bisa memberikan contoh nyata kepada masyarakat.
Intelektual merasa berada di menara gading, mendapat status tinggi sebagai akademisi, mendapat privilese dengan keangkuhan pengetahuannya, tetapi melupakan peran sosialnya sebagai panutan bagi masyarakat.
Meski memiliki kompetensi sebagai pendakwah dan intelektual, Yai Mim lalai mengemban tugas sebagai tokoh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, mengamalkan, dan menyampaikan ilmu agama dan tasawwuf kepada tetangganya.
Bukankah fungsi agama mengatur kehidupan sosial agar menjadi lebih baik? Bukan justru konflik.
Kasus Yai Mim dan Sahara mencerminkan tergerusnya peran intelektual dalam masyarakat. Memudarnya ilmu pengetahuan demi egoisme dan hasrat pribadi. Intelektual kita hari ini memang sedang asyik dengan diri dan pikirannya sendiri. Egois.
Tugas intelektual hanya menyampaikan pengajaran, materi tekstual, tetapi abai pada peran sebagai pendidik yang konkret. Akademisi seakan-akan kehilangan marwah dan fungsi intelektual.
Lebih dari itu, akademisi sibuk dengan penelitian-pengabdian yang dangkal dan tidak berakar pada problem utama masyarakat. Akademisi disibukkan oleh urusan administrasi dan mengejar angka kredit KUM, Scopus, sehingga makin jauh dan berjarak dengan masyarakat.
Ki Hadjar Dewantara merumuskan tentang pentingnya etika dan moral (budi pekerti) dalam falsafah pendidikan.
Pengajar selayaknya memberikan teladan tentang kebijaksanaan, ketangguhan dalam bermasyarakat, menjaga harmonisasi antara pikiran dan problem sosial, menjaga stabilitas egoisme antarindividu untuk mencapai kemaslahatan dalam bermasyarakat. Bukan saling mengungkap aib tetangga, mencari kesalahan orang lain, merasa paling benar, dengan berdalih sebagai data dan dokumen.
Video-video aib privasi menyebar di seluruh media sosial. Menjadi tontonan yang menggelikan.
Dengan demikian, jika benar Yai Mim adalah dosen dan Sahara pernah menjadi asisten dosen dan peneliti, paradigma pendidikan butuh dievaluasi, perlu dikaji ulang, perlu rumusan faktual tentang arah dan tujuan pendidikan yang berkaitan langsung dengan masyarakat, khususnya di era digital saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: