Trans Jatim dan Jejak Keadilan di Jalan Raya

ILUSTRASI Trans Jatim dan Jejak Keadilan di Jalan Raya.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Trans Jatim Mau Tambah Tiga Koridor, Bakal Jangkau Pasuruan dan Jombang
Dalam pandangan Ibn Khaldun, negara bertahan bukan karena kekuasaan, melainkan karena ”asabiah”. Yakni, rasa keterikatan sosial yang membuat rakyat dan penguasa berjalan seirama.
Dan, transportasi publik, sekecil apa pun bentuknya, adalah salah satu cara membangun ”asabiah” modern: menautkan warga dalam ritme yang sama, setiap hari, tanpa sekat kelas dan status.
Pemikiran itu sejalan dengan gagasan John Rawls dalam A Theory of Justice, yang menyebut keadilan sebagai ”fairness”. Yaitu, sebuah sistem yang memastikan kesempatan dasar terbuka bagi semua, terutama mereka yang paling lemah.
Dalam kerangka Rawlsian, transportasi publik seperti Trans Jatim adalah bentuk nyata dari justice as fairness. Yakni, kebijakan yang menyeimbangkan posisi sosial tanpa harus menyeragamkan hasilnya.
Setiap halte yang dibangun di pinggiran kota, setiap kilometer yang dijangkau bus, adalah manifestasi kecil dari prinsip Rawls: kebijakan harus diukur dari seberapa jauh ia memperbaiki kondisi mereka yang paling tertinggal.
Trans Jatim, dalam konteks itu, bukan proyek teknokratik, melainkan infrastruktur kebersamaan. Ia mungkin tidak mengubah peta ekonomi dalam sekejap, tapi ia memperkecil jarak sosial secara perlahan.
Ia membuat seorang buruh di Gresik punya akses yang sama cepatnya dengan seorang mahasiswa di Surabaya. Mobilitas, dalam arti tersebut, adalah bentuk paling konkret dari kesetaraan sosial.
Namun, perjalanan itu belum selesai. Masih ada banyak daerah yang menunggu. Dari pesisir utara Lamongan yang nelayannya berangkat sebelum fajar hingga perbatasan Madiun di kaki Lawu, tempat warga menempuh berjam-jam perjalanan dengan ongkos tak menentu.
Di sanalah keadilan transportasi diuji: apakah negara akan terus menjemput warganya di halte-halte kecil itu atau hanya berhenti di kota besar yang terang benderang?
Pelajaran dari negara lain mempertegas pentingnya arah tersebut. Santiago di Cile menata ulang sistem transportasi publik untuk menghapus jarak sosial. Kanada menjadikannya hak warga, bukan bisnis.
Dan, Shenzhen, Tiongkok, melangkah lebih jauh dengan mengubah seluruh armadanya menjadi listrik: ramah lingkungan, efisien, dan berpihak kepada rakyat.
Dalam arti tertentu, Trans Jatim sedang menulis bab baru dalam perjalanan panjang Jawa Timur: dari perahu di Bengawan Solo menuju bus di jalan tol. Dua-duanya punya spirit yang sama, yakni menghubungkan manusia dengan martabatnya.
Sebab, pada akhirnya, transportasi bukan hanya soal berpindah tempat, melainkan berpindah nasib.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: