Trans Jatim dan Jejak Keadilan di Jalan Raya

Trans Jatim dan Jejak Keadilan di Jalan Raya

ILUSTRASI Trans Jatim dan Jejak Keadilan di Jalan Raya.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

DI jalan tol SidoarjoSurabaya pagi itu, bus hijau muda melintas dengan tenang. Tulisan di bodinya sederhana: Trans Jatim–Melayani Tanpa Batas. Dari balik kaca, tampak wajah-wajah biasa: pekerja pabrik, ibu rumah tangga, pelajar. Tidak ada yang istimewa, kecuali satu hal –mereka semua sedang menuju sesuatu: kehidupan yang sedikit lebih mudah.

Barangkali di situlah letak maknanya. Trans Jatim bukan sekadar bus, melainkan simbol dari negara yang hadir di jalan-jalan warganya. Ia adalah roda kecil dalam mesin besar bernama keadilan sosial. 

Dengan tarif lima ribu rupiah atau lebih murah untuk pelajar, Trans Jatim menggerakkan yang nyaris tak terjangkau –buruh yang mengejar pabrik, pedagang yang membawa dagangan, pelajar yang menempuh ilmu, warga lanjut usia yang masih ingin mandiri.

BACA JUGA:Kado HUT ke-80 Jatim! Khofifah Resmikan Trans Jatim Lamongan-Gresik, Gratis selama 6 Hari

BACA JUGA:Setelah Malang, Trans Jatim Akan Beroperasi di Kediri dan Madiun Raya

Dan, tanpa banyak seremoni, ia perlahan menenun koneksi antarkota: Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Mojokerto, Bangkalan. Pun, kini bersiap menembus Malang Raya. Setiap koridor baru bukan sekadar rute, melainkan janji bahwa mobilitas adalah hak, bukan kemewahan.

Namun, sebagaimana perjalanan panjang kebijakan publik, Trans Jatim pun tak lepas dari pekerjaan rumah. 

Jadwal yang belum serapi harapan, halte yang masih minim fasilitas, dan integrasi dengan moda lain yang belum sempurna menunjukkan bahwa pelayanan publik selalu proses yang harus dirawat, bukan dirayakan berlebihan. 

Tapi, justru di sanalah nilainya. Pembangunan yang berpihak tak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari keberanian memulai.

BACA JUGA:Trans Jatim, Meretas Kemacetan, Memperkokoh Koneksitas Rantai Pasok

BACA JUGA:Merintis Ekosistem Trans Jatim sebagai Moda Utama Transportasi

Jika kita menengok ke belakang, sejarah Jawa Timur sesungguhnya telah lama berbicara tentang makna mobilitas. Pada masa Majapahit, sungai Brantas dan Bengawan Solo adalah ”koridor transportasi” pertama: dari pedalaman Trowulan ke pelabuhan Canggu dan Tuban, dari sawah ke samudra. 

Di sanalah ekonomi, gagasan, dan peradaban bertemu. Para leluhur kita paham bahwa konektivitas bukan hanya soal jalan, melainkan soal keadilan. Tak heran, Majapahit mampu menjadi pusat perdagangan sekaligus kebudayaan. Sebab, ia mengerti bahwa kesejahteraan lahir dari keterhubungan.

Maka, pada abad ke-21 ini, saat roda Trans Jatim berputar di jalan tol, seolah kita sedang menghidupkan kembali urat nadi lama yang dulu mengalir di tanah yang sama: urat nadi keadilan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: