Layar yang Retak di Bulan Santri

ILUSTRASI Layar yang Retak di Bulan Santri.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Satu kalimat bisa menjadi lentera, tapi bisa pula menjadi luka.
Dalam masyarakat yang tumbuh dari tradisi sopan santun, cara berbicara sering kali lebih bermakna dari isi pembicaraan.
BACA JUGA:Ribuan Warga Menyemarakkan Jalan Sehat Sarungan di Pasuruan, Puncak Rangkaian Hari Santri Nasional
Kata yang benar pun bisa menjadi pisau bila diucapkan dengan nada yang salah.
Pesantren bukan ruang glamor yang perlu disorot dengan eksotika. Ia rumah bagi nilai: kesederhanaan, ketulusan, dan penghormatan.
Di sana, kiai bukan bintang televisi, melainkan mata air kebijaksanaan.
Maka, ketika sorotan kamera menampilkan sebaliknya –seolah ada kemewahan, seolah ada kepura-puraan– yang tersinggung bukan sekadar individu, melainkan juga seluruh ekosistem moral yang menjaga keseimbangan batin bangsa.
Namun, marah karena cinta tetaplah marah.
BACA JUGA:Khofifah Ungkap Keberhasilan OPOP Jatim Tembus Pasar Global di Sarasehan Hari Santri
BACA JUGA:Pimpin Apel Hari Santri, Ketua DPRD Kota Pasuruan Memotivasi Para Santri untuk Menjadi Negarawan
Dan, bila cinta tidak dijaga oleh kebijaksanaan, ia bisa berubah menjadi api yang membakar semuanya.
Barangkali inilah ujian sejati di bulan santri: mampukah kita menenangkan amarah dengan kebeningan hati?
Kemarahan publik adalah tanda cinta, tetapi cinta yang tak disertai hikmah bisa kehilangan arah.
Media perlu belajar kembali makna empati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: