Layar yang Retak di Bulan Santri

Layar yang Retak di Bulan Santri

ILUSTRASI Layar yang Retak di Bulan Santri.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

ADA LUKA yang tak berdarah, tapi terasa dalam: luka di layar televisi, yang menggores perasaan orang-orang yang hidup dengan adab. Menjelang Hari Santri Nasional, ketika bangsa semestinya menunduk hormat kepada para penjaga ilmu, Trans7 justru menayangkan program yang memicu gelombang marah.

Tayangan itu menggambarkan kehidupan pesantren dengan nada yang dianggap sinis dan merendahkan.

Nama besar Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, ikut terseret. Juga, sosok sepuh KH Anwar Manshur, ulama yang sederhana dan tulus mengajar hingga usia senja.

BACA JUGA:Wamenag Optimistis Izin Pembentukan Ditjen Pesantren Terbit Sebelum Hari Santri

BACA JUGA:Ithlaq Hari Santri Nasional 2025, Gubernur Khofifah Ajak Santri dan Masyarakat Kobarkan Spirit Jihad Kebangsaan

Di bulan yang seharusnya menjadi perayaan keteladanan, luka justru muncul dari layar kaca.

Di media sosial, seruan boikot dan kecaman bergema. Ada yang menangis karena sedih, ada yang menulis dengan getir, ada pula yang menuntut tanggung jawab moral dari stasiun televisi.

Semuanya lahir dari cinta: cinta kepada guru, kepada pesantren, kepada kehormatan yang dijaga turun-temurun.

Di sisi lain, dunia media berdiri dengan argumen kebebasan pers. Bahwa jurnalisme tak boleh dibungkam oleh sentimen.

BACA JUGA:Menag Buka Hari Santri 2025 di Tebuireng, Umumkan Rencana Eselon I Khusus Pesantren

BACA JUGA:Buka Hari Santri 2025, Menag Ungkap Rencana Eselon I Khusus Urus Pesantren

Di titik itulah dua nilai besar beradu: adab dan kebebasan, kehormatan dan kritik.

Dan, bangsa ini berdiri di antara keduanya, di persimpangan antara rasa hormat dan hak berekspresi.

Media sejatinya bukan hanya cermin yang memantulkan kenyataan, melainkan juga tangan yang membentuknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: