Layar yang Retak di Bulan Santri

ILUSTRASI Layar yang Retak di Bulan Santri.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Kebebasan tidak berarti bebas dari tanggung jawab moral.
Setiap tayangan yang lahir di negeri religius seperti Indonesia harus peka terhadap nilai dan perasaan umat.
BACA JUGA:Peringatan Hari Santri, Fahrur Rozi: Pendirian Ponpes Harus Kembali seperti Dulu
BACA JUGA:Hari Santri 2024, Khofifah Serukan Santri Jadi Garda Moral dan Penggerak Inovasi
Sementara itu, dunia pesantren pun perlu terbuka agar kritik yang jernih tak selalu terbaca sebagai penghinaan.
Sesungguhnya, kebebasan pers dan marwah pesantren tidak saling meniadakan.
Keduanya justru dua tiang yang menopang rumah yang sama: rumah kebangsaan.
Media menjaga nalar publik, pesantren menjaga nurani bangsa.
Bila keduanya saling menghormati, Indonesia akan berdiri di atas keseimbangan yang kokoh.
Permintaan maaf mungkin menjadi awal, tapi tidak cukup.
Yang lebih penting adalah keberanian untuk memperbaiki.
Jika Trans7 berkenan menayangkan ulang kisah pesantren dengan riset, empati, dan penghormatan, luka itu bisa sembuh.
Bagi para santri, inilah waktu terbaik untuk menunjukkan kelas spiritualnya: menjawab hujatan dengan ketenangan, menegakkan kehormatan tanpa kehilangan adab.
Marwah pesantren tidak akan runtuh hanya karena satu tayangan.
Ia telah berdiri berabad-abad di atas doa dan kesetiaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: