Gaya Purbaya Yudhi Sadewa
ILUSTRASI Gaya Purbaya Yudhi Sadewa.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Purbaya menandai pergeseran gaya kepemimpinan yang diidamkan publik. Gayanya sesuai dengan selera publik kekinian. Itu, antara lain, karena perubahan lanskap komunikasi yang berubah. Media sosial memperkuat budaya transparansi, spontanitas, dan autentisitas alias keaslian.
Publik sekarang lebih menghargai pemimpin yang blak-blakan, ceplas-ceplos, dan terbuka. Apalagi, mereka bisa menjelaskan kompleksitas secara lugas. Kategasan tidak perlu disimbolkan dengan marah-marah atau dengan cara-cara yang emosional.
Ini adalah akhir era performativitas emosional yang pernah digunakan para pemimpin. Di lini masa, gaya Purbaya itu disandingkan dengan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pasca 2017. Saat memimpin ibu kota Jakarta, ia dikenal sering tampil dengan gaya terbuka dan argumentatif.
BACA JUGA:Dedi Mulyadi Bantah Dana Rp2,6 Triliun Mengendap, Purbaya Bongkar Dugaan ‘Main Bunga’
BACA JUGA:Purbaya Tegaskan Data Dana Mengendap di Bank Bersumber dari BI, Bukan Kemenkeu
Bisa jadi, gaya kepemimpinan Purbaya adalah mulainya era post-heroic leadership. Yakni, pemimpin yang tak lagi dilihat sebagai orang sakti yang marah demi rakyat. Namun, manajer rasional yang bicara apa adanya di depan publik.
Kalau tesis itu benar, meroketnya Purbaya menandai pergeseran gaya kepemimpinan publik. Dari kepemimpinan emosional (emotional leadership) yang membangun solidaritas publik melalui perasaan moral ke kepemimpinan naratif (narrative or discursive leadership).
Dalam kepemimpinan naratif, kepercayaan dibangun melalui penjelasan, keterbukaan data, dan dialog. Karena itu, kepemimpinan yang demikian membutuhkan kompetensi dan kecerdasan teknikalitas yang lebih besar ketimbang emotional leadership.
BACA JUGA:Purbaya Respons soal KDM Bantah Tudingan Dana Rp4,1 Triliun Mengendap di Bank
BACA JUGA:BI Jadi Rujukan, Dedi Tantang Purbaya Buka Data Dana Rp4,1 Triliun
Jika dulu gaya marah efektif di saat publik merasa tidak punya suara, kini tak lagi demikian. Sekarang publik menuntut partisipasi dan literasi informasi. Kalau dulu marah-marahnya pemimpin menjadi tanda kejujuran, kini menjadi tanda kurang rasional. Kini blak-blakan menjadi simbol transparansi dan kompetensi.
Purbaya menggambarkan pergeseran itu. Ia tidak hanya punya modal postur tubuh yang charming dan murah senyum, tetapi juga modal kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan saat ini. Tampaknya, latar belakang pendidikannya menopang kebutuhan kepemimpinan baru seperti itu.
Sebagai orang yang lulusan teknik elektro ITB, ia punya cara berpikir rekayasa sistem (systems thinking). Cara berpikir yang cenderung melihat dunia sebagai sistem yang punya input, proses, dan output. Namun, ia juga doktor ekonomi lulusan Universitas Purdue, Amerika Serikat.
Pendidikan terakhir itu membuat Purbaya yang terbiasa berpikir dengan teknik presisi menjadi cara berpikir yang lebih terbuka dalam menghadapi ketidakpastian. Bukankah ilmu ekonomi lebih bersifat tidak pasti dan tak selinier ilmu teknik yang bersifat lebih pasti?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: