Gaya Purbaya Yudhi Sadewa
ILUSTRASI Gaya Purbaya Yudhi Sadewa.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BERUNTUNG Presiden Prabowo Subianto menemukan Purbaya Yudhi Sadewa. Popularitasnya yang melejit sejak diangkat sebagai menteri keuangan telah mendongkrak persepsi publik tentang pemerintahannya di tahun pertama.
Ujian pemerintahannya di tahun pertama segera bisa diatasi dengan penampilan Purbaya. Juga, kebijakan-kebijakannya yang segera memberikan harapan baru bagi perekonomian Indonesia. Ia berhasil mengerek gerbong citra di saat gerbong lain sedang macet.
Mengapa kehadiran Purbaya dalam pemerintahan Prabowo langsung memberikan warna baru pemerintahan ini? Bagaimana popularitasnya begitu cepat melejit dalam waktu yang singkat? Apakah itu menunjukkan pergeseran gaya kepemimpinan yang disenangi publik?
BACA JUGA:Purbaya Nyatakan Tak Akan Rampas Barang Bekas Milik Pedagang: Saya Fokus di Pelabuhan
BACA JUGA:Hoaks Pegawai Bea Cukai di Starbucks, Purbaya: Saya Dikibulin!
Saya menjadi teringat gaya kepemimpinan pejabat di tahun 2010-an. Saat itu nama sejumlah pejabat daerah melejit karena menampilkan kepemimpinan marah. Misalnya, memarahi birokrat yang tidak benar, marah saat melihat penyimpangan, dan menonjolkan gaya emosional di depan publik.
Semua orang pasti ingat dengan mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Yang popularitasnya melejit ketika wali kota perempuan itu memarahi panitia event yang merusak sebagian taman di Taman Bungkul. Juga, sering memaki anak buahnya di depan umum atau kemarahan yang sengaja dipublikasikan.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga sempat viral di media sosial karena memarahi petugas jembatan timbang yang ketahuan melakukan pungutan liar. Kemarahan yang berbuah pujian publik. Emosionalitas yang melahirkan popularitas.
BACA JUGA:Purbaya Tegas, Tak Ada Perlindungan bagi Pegawai Bea Cukai yang Terlibat Kasus Hukum
BACA JUGA:Purbaya Gandeng Hacker Lulusan Rusia, Perbaiki Sistem Coretax yang Bermasalah
Gaya kepemimpinan emosional memang sedang dibutuhkan pada masa itu. Saat publik mengalami krisis kepercayaan terhadap birokrasi dan elite politik. Masyarakat jenuh dengan pejabat yang terlihat santai dan tidak tegas. Karena itu, sosok yang marah-marah di lapangan dianggap sebagai pahlawan.
Gaya marah-marah pemimpin tidak dianggap sebagai kekurangan. Tapi, sebagai bahasa moral melawan kemapanan birokrasi. Kemarahan pemimpin tidak dianggap sebagai penyimpangan, tetapi dianggap publik sebagai simbol ketulusan dan integritas.
Gaya kepemimpinan seperti itu disebut Pierre Bourdieu sebagai performativitas moral. Pemimpin yang menjadikan kemarahan sebagai performa simbolis. Marah untuk menegaskan moralitas pemimpin di hadapan publik. Dengan begitu, emosionalitas publik menjadi terwakili.
BACA JUGA:Menkeu Purbaya Rekrut Para Hacker Lokal Perbaiki Sistem Coretax: Mereka Jago Banget!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: