Refleksi Hari Sumpah Pemuda 2025: Dua Wajah di Lini Masa, Potret Generasi Gelisah
ILUSTRASI Refleksi Hari Sumpah Pemuda 2025: Dua Wajah di Lini Masa, Potret Generasi Gelisah.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Namun, panggung tersebut beroperasi di bawah logika kapitalisme digital yang dikenal sebagai ”ekonomi perhatian”. Setiap unggahan adalah produk yang bersaing untuk mendapatkan atensi.
Di sanalah letak ambivalensi dari fenomena Gemini. Di satu sisi, ia adalah alat pemberdayaan dan ekspresi autentik. Di sisi lain, ia berisiko menjadi strategi untuk ”mengemas” diri agar terlihat lebih kompleks dan menarik, sebuah komodifikasi identitas demi mendapatkan validasi berupa likes dan engagement.
Tekanan untuk terus-menerus menampilkan versi diri yang menarik dapat mengubah ekspresi menjadi sebuah kerja emosional yang melelahkan. Namun, menafikan potensi pemberdayaannya juga sebuah kesalahan.
Bagi banyak pemuda yang terpinggirkan di dunia luring, panggung digital itu justru menawarkan ruang pertama mereka untuk merasa dilihat dan diakui.
SEBUAH CATATAN DARI DUNIA MAYA
Mengamati tren foto Gemini adalah seperti melakukan sebuah etnografi singkat tentang kondisi manusia modern. Praktik budaya itu menunjukkan bahwa pertanyaan tentang identitas telah bergeser. Isunya bukan lagi tentang menemukan satu ”diri sejati”, melainkan tentang kemampuan untuk mengelola dan menampilkan berbagai sisi diri yang kita miliki.
Di balik estetika visual yang sederhana, tren itu adalah artefak budaya yang berbicara banyak tentang kecemasan, harapan, dan perlawanan generasi yang tumbuh di era digital. Ia mengajari kita bahwa identitas hari ini bukanlah sebuah titik, melainkan sebuah proses negosiasi yang cair dan tak pernah berakhir.
Oleh karena itu, memahami ritual-ritual digital seperti itu bukanlah sekadar urusan trivial, melainkan sebuah keharusan untuk memahami ke mana arah kebudayaan kita bergerak.
Keahlian dalam memegang kendali atas banyak identitas, yang saat ini terbentuk lewat kebiasaan digital, berpotensi besar menjadi kemampuan utama, bukan sekadar gaya.
Di tengah tuntutan fleksibilitas ekstrem dari dunia kerja dan sosial, mereka yang lihai berganti peran secara kontekstual –siang sebagai profesional, malam sebagai seniman, atau akhir pekan sebagai pegiat– adalah yang paling berpeluang sukses.
Daripada menghakimi itu sebagai narsisme digital, kita sebaiknya memandangnya sebagai sebuah ruang uji coba bagi generasi kini untuk mempertajam kelincahan identitas, kunci untuk menghadapi rumitnya zaman. (*)
*) Achmad Muzakky Cholily adalah antropolog dan aktivis budaya.
*) Dhahana Adi Pungkas adalah Academic and urban cultural interpreter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: