Simbolisasi Pemuda dalam Sastra
ILUSTRASI Simbolisasi Pemuda dalam Sastra.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Mereka ada dalam sistem yang bobrok. Mereka tak mampu melawan kejahatan struktural karena tidak memiliki keberanian secara strategis.
Jika melawan secara terbuka, mereka akan disingkirkan. Jadi, mereka tetap pasif. Mereka menjadi penonton permainan generasi tua yang culas.
Abu Kasan Sapari adalah tokoh novel Mantra Pejinak Ular (2000) karya Kuntowijoyo. Ia pemuda kreatif, guru, serta dalang yang diincar penguasa untuk dijadikan alat politik.
Abu Kasan berpegang pada prinsip netralitas, tapi tidak memiliki strategi perlawanan. Akibatnya, ia selalu diawasi dan dicari titik lemahnya agar dapat dijerat.
Pemuda Suryono dalam Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis, Basar dan Dalkijo dalam Orang-Orang Proyek, Fadil Damara dalam novel Bulan Jingga dalam Kepala (2007) karya M. Fadjroel Rachman adalah contoh simbolisme kaum terpelajar dan mantan aktivis kampus yang tergilas oleh roda zaman.
Mereka berubah saat masuk ke dunia kerja yang berafiliasi ke partai politik. Mereka tidak berdaya dalam sistem dan larut.
Mirip dengan Raden Bagus Ario Atomojo dalam prosa liris Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi A.G. yang menikmati kekuasaan dan kebangsawanan orang tuanya sehingga menghamili babunya yang bernama Pariyem.
Ketegangan antara tokoh tua dan muda akan terus berlangsung.
Kita berharap agar hadirnya kaum muda yang ulet dan berani sebagai simbol, seperti dipekikkan Chairil Anwar saat berusia 21 tahun dalam sajak Diponegoro: Di masa pembangunan ini / tuan hidup kembali / Dan bara kagum menjadi api / Di depan sekali tuan menanti / Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. / Pedang di kanan, keris di kiri / Berselempang semangat tak bisa mati. (*)
*) M. Shoim Anwar adalah sastrawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: