Simbolisasi Pemuda dalam Sastra

Simbolisasi Pemuda dalam Sastra

ILUSTRASI Simbolisasi Pemuda dalam Sastra.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Pendidikan Vokasi dalam Bingkai Semangat Sumpah Pemuda

 BACA JUGA:Pudarnya Gaung Ikrar Sumpah Pemuda

Simbol sosok muda progresif juga ditampilkan dalam novel Ayu Utami Saman (1998) dan Larung (2001). Para sosok muda seperti Laela, Yasmin, Sakuntala, Cok, bahkan Saman, adalah sosok muda yang berjuang di banyak lini. 

Mereka gagal menjadi tokoh ideal karena terjerembap dalam kehidupan seksual. Idealisme dan emansipasi mereka disemangati oleh libido. Hal senada terjadi pada Diva dalam Supernova (2001) karya Dee, juga Retno Dumilah alias Gadis dalam Para Priyayi (1992) karya Umar Kayam. 

Tokoh terakhir itu malah terjerembap  pada ideologi komunis, gigih menjadi aktivis, tetapi gagal dalam tataran moral seperti juga tokoh Akhmad dan Yasrin dalam novel Mochtar Lubis Senja di Jakarta (1963).

BACA JUGA:Sumpah Pemuda, Wakil Ketua DPRD Jatim Beber Strategi Dongkrak Daya Saing Anak Muda

BACA JUGA:Haedar Nashir: Generasi Muda Harus Jadi Penjaga Nilai Sumpah Pemuda

Ada tokoh Lantip dalam Para Priyayi (1992) karya Umar Kayam dan Sirad dalam Korupsi (1953) karya Pramoedya Ananta Toer. Lantip berhasil meletakkan dasar perubahan dari pola priyayi-feodal ke demokrasi-komunal. 

Lantip adalah simbol kaum  muda sederhana, dari kelas bawah, tekun dan ulet sehingga mampu menggerakkan perubahan sosial dengan moderat. 

Anak angkat Sastrodarsono itu menjadi hero dalam keluarga tersebut ketika anak-anak kandung Sastrodarsono terjerembap dalam kehidupan gelap.

Sirad tidak mudah tergoda, jujur, tidak terkontaminasi meski hidup dalam tatanan yang korup. Ia berani membersihkan birokrasi dari korupsi: ”Barangsiapa mengikuti jejakmu dan mengotori kantorku akan kubuat kocar-kacir.” 

Korupsi adalah penyakit kronis. Namun, pribadi yang lurus saja tidak dapat menghentikan korupsi. 

Kanjat dalam novel Bekisar Merah (1993), Kabul dalam Orang-Orang Proyek (2001), keduanya karya Ahmad Tohari, juga Hidayat dalam Ladang Perminus (1990) karya Ramadhan K.H., adalah pribadi yang lurus.  

Namun, sikap mereka tak mampu mengadakan perubahan secara langsung. Kanjat tak mampu memutus mata rantai dunia rentenir yang melilit masyarakat bawah. Kabul hanya mampu menyingkir dari kelompok dunia orang-orang proyek yang korup. Lalu, Hidayat tak mampu berbuat banyak atas kebobrokan di dunia Perusahaan Minyak Nusantara.           

Kanjat, Kabul, dan Hidayat berhasil mengelola diri sendiri secara meyakinkan. Namun, mereka tak mampu menjadi pelatuk perubahan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: