Simbolisasi Pemuda dalam Sastra
ILUSTRASI Simbolisasi Pemuda dalam Sastra.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
TANGGAL 26 Oktober 1928, saat berumur 25 tahun, Mohammad Yamin menulis puisi Indonesia, Tumpah Darahku. Puisi 616 baris itu menggambarkan semangat nasionalisme yang kental: Tumpah darah Nusa-India / Dalam hatiku selalu mulia / Dijunjung tinggi atas kepala / Semenjak diri lahir ke bumi / Sampai bercerai badan dan nyawa / Karena kita sedarah-sebangsa / Bertanah air di Indonesia.
Dua hari setelah itu, 28 Oktober 1928, Yamin memelopori Sumpah Pemuda. Ide tentang tanah air, bangsa, dan bahasa terlebih dulu disuarakan dalam karya sastra. Yamin adalah simbol kaum muda.
Selain Yamin, ada Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armjin Pane, Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, dr Sutomo, dan masih banyak lagi. Mereka adalah simbol kaum muda dengan semangat kebangsaan luar biasa.
BACA JUGA:Refleksi Hari Sumpah Pemuda 2025: Dua Wajah di Lini Masa, Potret Generasi Gelisah
BACA JUGA:Pemuda Bunuh Pacar yang Dihamili: Ini Problem Nasional
Pemuda adalah agen perubahan. Dari masa Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, serta tumbangnya Orde Lama dan Orde Baru tak dapat dilepaskan dari kiprah pemuda.
Dalam wacana sastra, simbol tidak berhenti pada diri sendiri, tetapi mewakili citra sosok muda dalam tipe tertentu.
Tuti adalah simbol kaum muda yang pandai, idealis, gigih, dan aktivis emansipasi yang getol. Dia ingin mengangkat derajat bangsanya. Tuti adalah sosok muda simbolis dalam roman klasik Layar Terkembang (1937) karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Zaman merindukan kehadiran sosok seperti Neti yang berwawasan luas dalam kehidupan global dan mengabdi di dunia pendidikan dalam novel Burung-Burung Rantau (1992) karya Y.B. Mangunwijaya atau tokoh Jora yang aktivis dan memegang teguh kehormatan dalam Geni Jora (2004) karya Abidah El Khalieqy.
BACA JUGA:Demi Honda CR-V, Pemuda Tega Habisi Tante dengan Sadis: Perampok Umumnya Membunuh
BACA JUGA:Refleksi Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2024: Pemuda dan Nasionalisme Organik
Bila perlu, mengambil tampuk kepemimpinan sampai ke medan laga seperti tokoh Lazzah alias Nakhwah dalam novel mantan Presiden Irak Saddam Hussein, Tarian Setan (2006). Atau, seperti tokoh Ikal dan Arai dalam Sang Pemimpi (2006) karya Andrea Hirata yang ulet dan kreatif.
Regenerasi kepemimpinan dapat mandek karena dihambat oleh para Datuk Maringgih. Perkaranya bukan soal gender, melainkan lebih pada visi, misi, serta aksi dari kaum muda, bukan seperti Maria dalam roman Layar Terkembang yang gemar berpesta, cengeng, dan tak suka bekerja keras.
Sementara itu, para tokoh tua makin lamban, berkarat, dan lapuk seperti tokoh Destarastra dalam pewayangan atau seperti Kasan Ngali dalam novel Pasar (1972) karya Kuntowijoyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: