PM Jepang Sanae Takaichi dan Ilusi Kebijakan Pro-Perempuan

PM Jepang Sanae Takaichi dan Ilusi Kebijakan Pro-Perempuan

ILUSTRASI PM Jepang Sanae Takaichi dan Ilusi Kebijakan Pro-Perempuan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Selain itu, rasio anggota parlemen perempuan di Jepang hanya sekitar 16 persen, menandakan masih sedikitnya perempuan yang terwakili secara politik. Namun, harapan tersebut tampaknya tinggal harapan. 

Bukannya membawa pembaruan bagi kesetaraan gender, Takaichi justru mendukung kebijakan yang tampaknya memprioritaskan perempuan, tetapi sebenarnya tetap meneguhkan peran tradisional perempuan di ranah domestik. 

Beberapa rencana kebijakan tersebut adalah terkait dengan pengasuhan anak dan kesehatan perempuan, yaitu potongan pajak untuk biaya pengasuhan anak, pemberian insentif bagi perusahaan yang menyediakan tempat penitipan anak, dan program kesehatan untuk perempuan. 

Seperti diberitakan TIME (Guzman, 2025), Takaichi menjanjikan dalam program kampanyenya untuk memberikan potongan pajak sebagian untuk biaya pengasuhan anak.  Potongan pajak tersebut memang tidak penuh, hanya sebagian dari total biaya yang bisa diklaim untuk biaya tahunan. 

Misalnya, jika satu keluarga mengeluarkan biaya sebesar 500.000 yen per tahun untuk tempat penitipan anak, hanya 200.000 yen yang bisa dijadikan pengurang pajak. Tujuannya adalah selain untuk meringankan beban ekonomi keluarga, juga meringankan beban ibu yang ingin kembali bekerja setelah melahirkan. 

Selain itu, Takaichi berencana untuk memberikan insentif bagi perusahaan yang menyediakan layanan penitipan anak di tempat kerja (in-house daycare). Besaran jumlah insentif itu memang belum disebutkan secara jelas. 

Namun, dengan adanya program tempat penitipan anak tersebut, para karyawan perempuan yang juga menjadi ibu diharapkan bisa tenang bekerja karena ada yang membantu menjaga anak mereka. 

Bukan hanya itu, program Takaichi yang lain menurut The Associated Press (2025) yang juga terkait dengan perempuan adalah program kesehatan perempuan serta pengobatan kesuburan (fertility treatment) yang merupakan bagian dari kebijakan partai LDP yang menempatkan perempuan dalam peran tradisional mereka sebagai istri dan ibu yang baik.

Kebijakan Takaichi yang sudah disebutkan di atas memang terlihat sangat humanis dan berpihak kepada perempuan, khususnya para ibu. Takaichi tampak memberikan dukungan bagi perempuan yang bekerja supaya tidak takut memiliki anak karena negara akan memberikan dukungan sistem untuk para ibu. 

Namun, kebijakan itu secara tidak langsung memperkuat gagasan bahwa perempuan Jepang adalah pilar utama penyokong keluarga. Tubuh perempuan kembali dipandang sebagai alat negara untuk meningkatkan populasi Jepang yang terus menurun. 

Dengan kata lain, itu adalah wajah baru dari reproductive nationalism. Yakni, sebuah ideologi di mana negara mengontrol atau mendorong reproduksi warganya, terutama perempuan, demi tujuan nasional atau demografis. 

Serupa dengan ideologi pemerintah pada zaman Meiji (1868–1912), Jepang mengembangkan ideologi ryosai kenbo yang berarti ”istri yang baik dan ibu yang bijaksana”.  

Perempuan di masa itu dimobilisasi dan diminta untuk taat kepada suami, melahirkan, mendidik anak-anak, dan berkontribusi bagi kekuatan bangsa. Melahirkan pada saat itu bukanlah hak pribadi, melainkan kewajiban terhadap kaisar dan negara. 

Ternyata, dalam konteks Jepang modern saat ini, tubuh dan kesuburan perempuan kembali dipolitisasi melalui kebijakan negara. Negara tampak seperti memberikan dukungan bagi semua perempuan untuk menjadi ibu, tetapi pada dasarnya diarahkan untuk tujuan demografis. 

Negara seakan berpihak kepada perempuan, tetapi yang diutamakan adalah angka kelahiran, bukan kebebasan tubuh perempuan. Selain kebijakan yang menempatkan perempuan sebagai pengasuh utama keluarga, Takaichi juga membangun citra publik yang berakar pada ideologi pengibuan tradisional. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: