Psikologi untuk Keadilan: Menyatukan Nalar, Nurani, dan Negara

Psikologi untuk Keadilan: Menyatukan Nalar, Nurani, dan Negara

ILUSTRASI Psikologi untuk Keadilan: Menyatukan Nalar, Nurani, dan Negara.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Pembunuhan di Legok dalam Perspektif Psikologi

BACA JUGA:Rahasia Psikologi di Balik Warna Lipstik dan Kepribadian Seseorang

Bagaimana menjaga integritas ketika hasil asesmen bisa memengaruhi nasib seseorang? Bagaimana memastikan laporan psikologis tidak dijadikan alat pembenaran, tetapi dasar pencarian kebenaran? 

Tantangan itulah yang menegaskan bahwa profesi psikologi forensik memerlukan bukan hanya keahlian ilmiah, melainkan juga keberanian moral.

KESINAMBUNGAN DALAM KETIDAKSINAMBUNGAN

Perubahan hukum dan sosial yang cepat membuat psikologi forensik berada di persimpangan antara kesinambungan nilai dan ketidaksinambungan sistem. 

BACA JUGA:Alasan Perempuan Menyukai Warna Pink: Sejarah, Faktor Psikologis dan Biologis

BACA JUGA:Pemakzulan Wapres dan Kasus Ijazah Jokowi: Sebuah Psikologi Politik

Dalam istilah yang lebih reflektif, profesi itu menghadapi conditional discomport rasa tidak nyaman yang muncul karena nilai-nilai profesional harus bernegosiasi dengan realitas yang berubah.

Reformasi hukum membuka ruang bagi kolaborasi, tetapi juga membawa ketegangan. Digitalisasi proses hukum menuntut efisiensi, sementara psikologi bekerja dengan kedalaman makna dan empati. 

Dalam situasi seperti itu, Apsifor berperan menjaga agar profesi tidak kehilangan jati diri. Prinsip conditioning continuity in discontinuity menjadi pegangan: bagaimana memelihara integritas dan nilai kemanusiaan di tengah sistem yang terus bergerak.

Kedewasaan profesi ditandai bukan oleh kemapanan, melainkan oleh kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan kompas moral. Psikologi forensik ditantang untuk terus hadir sebagai pelindung nilai-nilai etik di tengah derasnya arus perubahan hukum.

KEADILAN YANG MEMULIHKAN

Salah satu perubahan penting dalam sistem hukum baru adalah munculnya paradigma restorative justice, yang menempatkan pemulihan di atas pembalasan. Di sanalah psikologi forensik menemukan peran paling humanisnya. 

Psikolog tidak sekadar hadir di persidangan, tetapi juga menjadi bagian dari proses penyembuhan sosial: mendampingi korban, menilai kesiapan pelaku untuk berubah, dan membantu aparat hukum merancang intervensi yang berorientasi pada pemulihan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: