Psikologi untuk Keadilan: Menyatukan Nalar, Nurani, dan Negara
ILUSTRASI Psikologi untuk Keadilan: Menyatukan Nalar, Nurani, dan Negara.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
DELAPAN BELAS tahun perjalanan Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) bukan sekadar hitungan waktu organisasi, melainkan perjalanan moral dan intelektual menuju cita-cita keadilan yang berwajah manusia.
Di tengah perubahan sosial dan hukum yang terus bergerak, psikologi forensik hadir bukan hanya sebagai disiplin ilmu, tetapi juga sebagai jembatan antara nalar ilmiah, nurani kemanusiaan, dan kepastian hukum negara.
Tema Psikologi Forensik dalam Sistem Hukum Baru yang diangkat dalam Temu Ilmiah Nasional XIV Apsifor di Universitas Islam Bandung (Unisba), yang akan diadakan pada 7 sampai 9 November 2025, menjadi penanda penting bagi profesi itu.
BACA JUGA:4 Tipe Introvert Menurut Psikologi Modern
BACA JUGA:Polisi Tembak Polisi di Lampung, Kajian Psikologi
Ia menandai fase baru: bagaimana psikologi beradaptasi dalam sistem hukum yang sedang bertransformasi. Pembaruan KUHP, digitalisasi peradilan, dan kebijakan restorative justice telah membuka peluang besar sekaligus tantangan baru bagi psikologi forensik di Indonesia.
ILMU DAN NURANI DI RUANG HUKUM
Psikologi forensik sejatinya bukan sekadar aktivitas menguji kejiwaan pelaku atau menilai kondisi korban. Lebih dalam dari itu, ia adalah cara memandang manusia sebagai makhluk yang utuh di balik setiap perkara hukum.
Psikolog forensik membantu aparat hukum memahami dimensi batin dari tindakan apa yang mendorong seseorang melakukan kejahatan, bagaimana trauma memengaruhi keputusan, dan seberapa jauh tanggung jawab moral dapat diukur dengan adil.
BACA JUGA:Menengok Barak Militer Ala Dedi Mulyadi dari Sudut Pandang Psikologi Pendidikan
BACA JUGA:Pajak 250 Persen dan Psikologi Massa: Emosi Kolektif dan Kearifan Lokal
Di ruang sidang, kehadiran psikolog forensik sering kali menjadi penyeimbang antara dinginnya teks hukum dan hangatnya empati manusia.
Dalam banyak kasus, psikolog membantu hakim menilai kemampuan tanggung jawab pelaku, dampak psikologis terhadap korban, dan potensi rehabilitasi. Ia memberikan konteks bagi hukum agar tidak terjebak pada formalitas pasal semata.
Namun, peran itu juga membawa dilema. Tekanan publik, media, atau institusi hukum kadang membuat objektivitas psikolog diuji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: