Sosiolog Unair Sebut Prostitusi di Surabaya Sulit Diberantas, Hanya Ganti Modus!

Sosiolog Unair Sebut Prostitusi di Surabaya Sulit Diberantas, Hanya Ganti Modus!

Mural di kawasan Jalan Sememi Jaya I yang berdekatan dengan eks lokalisasi Moroseneng-Tirtha Nirwana Sidik-

HARIAN DISWAY - Penutupan lokalisasi legendaris Dolly pada 2014 dan Moroseneng pada 2015 sempat dianggap sebagai kemenangan moral Pemerintah Kota Surabaya.

Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Prostitusi tidak lenyap, hanya bertransformasi, bersembunyi di balik layar ponsel, kamar hotel, dan grup media sosial.

Fenomena itu mengundang keprihatinan mendalam dari Prof. Bagong Suyanto, sosiolog senior dari Universitas Airlangga (Unair). Ia menilai bahwa upaya represif selama ini hanyalah simbolik, bukan solusi struktural.

"Prostitusi itu adalah industri sosial dan komersial. Bisa dibilang keuntungannya besar karena tidak terkena pajak dan terjadi perputaran uang yang besar di sana," ujar Prof. Bagong.

BACA JUGA:Menelisik Lokalisasi Surabaya yang Menggeliat Lagi, Media Sosial Sarang Prostitusi

BACA JUGA:Mahasiswa Asal Boyolali Ditangkap, Diduga Kelola Prostitusi Terselubung di Singosari


Polrestabes Surabaya saat menggrebek TKP Eks Lokalisasi Moroseneng Surabaya-Humas Polrestabes Surabaya-

Ia menjelaskan bahwa selama permintaan (demand) masih tinggi, maka penawaran (supply) akan terus ada. Tidak peduli seberapa ketat penutupan lokalisasi. Yang berubah bukanlah eksistensinya, melainkan modus operasinya.

Dulu, prostitusi terkonsentrasi di wisma-wisma terpusat seperti Dolly dan Moroseneng. Kini, ia terdesentralisasi. Para pekerja seks komersial (PSK) dan mucikari bisa memanfaatkan Facebook, MiChat, WhatsApp, dan platform digital lain untuk menawarkan jasanya.

Transaksi cukup dilakukan lewat chat, transfer uang digital, lalu bertemu di hotel yang telah memiliki jaringan khusus.

"Sekarang adanya prostitusi tidak lagi ditentukan dengan adanya lokalisasi. Prostitusi bisa beroperasi tanpa ada di wisma-wisma. Sekarang masuk hotel dan media sosial,” tegasnya.

Model tersebut justru lebih sulit diawasi. Tidak ada lokasi tetap, tidak ada mucikari terang-terangan, dan transaksi dilakukan secara privat. Apalagi, banyak hotel di Surabaya sudah memiliki "kerjasama tidak resmi" dengan penyedia jasa. Sehingga sistem itu berjalan lancar yang minim pengawasan aparat.

Salah satu alasan mengapa praktik itu bisa tumbuh subur di Surabaya, menurut Prof. Bagong, adalah sifat masyarakat perkotaan yang impersonal.

BACA JUGA:Perketat Pengawasan di Eks Lokalisasi Moroseneng, Patroli Malam sampai Subuh

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: