Stagnasi Transisi Energi di Indonesia
ILUSTRASI Stagnasi Transisi Energi di Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Namun, daerah tidak memiliki instrumen fiskal, keleluasaan perizinan, ataupun otoritas ketenagalistrikan untuk mewujudkan target tersebut.
Maka, upaya transisi energi tanpa reformasi tata kelola energi, skema desentralisasi energi rakyat –seperti mendorong maksimalisasi PLTS atap, mempercepat dan menguatkan koperasi energi, serta menginisiasi program mandiri komunitas– akan tetap terbatas. Dengan begitu, sampai kapan pun akan tetap menjadi pilot project.
Ketidaksinkronan itu pada akhirnya menciptakan ruang stagnasi. Yakni, pusat merumuskan target, daerah memuatnya dalam rencana, tetapi eksekusi terhenti pada level PLN dan mekanisme pasar yang belum siap.
Pertanyaan krusial berikutnya, bagaimana dengan pemensiunan PLTU? Indonesia telah memulai langkah awal melalui rencana penghentian dini PLTU Cirebon-1 dan agenda JETP.
Secara teoretis, mekanisme pembiayaan transisi dan early retirement sudah tersedia. Namun, praktiknya, kontrak jangka panjang, skema take-or-pay, dan kepentingan korporasi batu bara menjadi hambatan utama.
Ironisnya, di tengah wacana pemensiunan, kita justru menyaksikan pembangunan PLTU baru untuk kawasan industri dan pengolahan nikel –sebuah ironi yang menempatkan Indonesia dalam posisi ganda.
Mereka dielu-elukan menjadi pemasok bahan baku transisi energi global, akan tetapi secara praktik masih sangat mengandalkan energi kotor secara domestik.
Jika percepatan transisi ingin nyata, seharusnya bukan sekadar kosmetik belaka. Indonesia perlu hadir dengan strategi yang tegas. Misalnya, menyiapkan road map transisi energi berkeadilan.
Lalu, memulai langkah pembekuan PLTU baru, termasuk captive power, reformasi kontrak PLTU eksisting, percepatan RUPTL berbasis energi bersih, dan skema pendanaan publik serta internasional yang tidak hanya berorientasi pasar, tetapi juga keadilan energi.
Percepatan tersebut juga membutuhkan demokratisasi energi –memberikan ruang bagi komunitas, koperasi, dan pemerintah daerah menjadi aktor produksi energi, bukan sekadar konsumen dalam pasar listrik yang terpusat.
Oleh karena itu, percepatan transisi energi Indonesia tidak hanya memerlukan teknologi dan investasi, tetapi juga keberanian politik untuk keluar dari logika ekonomi ekstraktif yang bertumpu pada fosil.
Keselarasan SNDC dengan kebijakan domestik, harmonisasi antara pusat dan daerah, pemensiunan PLTU, pembangunan infrastruktur energi terbarukan, merupakan sebuah prasyarat utama.
Tanpa itu, transisi energi akan terus menjadi narasi pencitraan iklim, bukan agenda transformasi yang membawa kita pada ekonomi berkelanjutan dan berdaulat energi. (*)
*) Wahyu Eka Styawan adalah direktur WALHI Jawa Timur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: