Rayuan Populisme, Dilema Kualitas Kebijakan Publik

Rayuan Populisme, Dilema Kualitas Kebijakan Publik

ILUSTRASI Rayuan Populisme, Dilema Kualitas Kebijakan Publik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kebocoran komunikasi atau celoteh tim media yang menunjukkan bahwa sebagian aktivitas hanyalah ”setting panggung” memperlihatkan batas yang rapuh antara transparansi dan teater politik.

Populisme digital, dalam arti ini, menjadi rayuan paling halus memperlihatkan responsivitas semu sambil menyembunyikan proses teknokratis yang justru menentukan kualitas kebijakan. 

Ia menenangkan publik lewat visual, tetapi bisa melemahkan kepercayaan jangka panjang bila substansi tak mengikutinya.

MENEMUKAN TITIK TENGAH: RESPONSIF TANPA KORBAN KUALITAS

Meski kritik terhadap populisme penting, kita perlu mengakui bahwa di dalamnya terdapat aspirasi, yaitu keinginan agar pejabat benar-benar mendengar rakyat. Hal itu menunjukkan bahwa populisme dapat mendorong pejabat menjadi lebih responsif dan inovatif. 

Namun, tantangannya adalah menyeimbangkan antara aspirasi dan analisis, antara panggung politik dan naskah teknokratis.

Tata kelola pemerintahan modern (modern governance) harus mampu menyerap energi populisme, baik yang bersifat materiil, kebudayaan, maupun digital tanpa mengorbankan integritas proses.

 Populisme kebudayaan sebaiknya dibaca sebagai data sosial, bukan dogma politik. Populisme digital seharusnya digunakan untuk memperkuat transparansi, tidak hanya membangun citra.

Pejabat publik yang matang akan berani menjelaskan mengapa kebijakan yang tidak populer justru penting bagi keberlanjutan. Ia tidak sekadar menampilkan kerja, tetapi menumbuhkan kepercayaan melalui akuntabilitas dan hasil nyata.

CITRA DAN MANFAAT NYATA

Popularitas memang penting untuk membangun legitimasi politik, tetapi tidak boleh menjadi tujuan akhir yang menggantikan substansi kebijakan. 

Keputusan yang hanya didorong oleh keinginan memenangkan hati publik jangka pendek, termasuk lewat panggung digital dan simbol identitas, berisiko tinggi mengorbankan prinsip efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan.

Tantangan pemerintahan masa kini adalah memastikan bahwa popularitas tidak menelan kualitas. Bahwa kecepatan dan visualitas tidak menyingkirkan perencanaan dan evaluasi.

Populisme yang bijak mampu menyeimbangkan hati nurani publik dengan logika teknis adalah jalan menuju kebijakan yang sungguh-sungguh menghasilkan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat luas. 

Keseimbangan itulah yang membedakan pemimpin yang sekadar menampilkan citra dari mereka yang meninggalkan legacy of substantive reform, warisan kebijakan yang tak hanya dikenang karena popularitasnya, tetapi karena kualitas dan keberlanjutannya dalam memperbaiki kehidupan publik. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: