FISIP Unair Gelar Diskusi Kritis: Apakah Soeharto Layak Jadi Pahlawan Nasional?

FISIP Unair Gelar Diskusi Kritis: Apakah Soeharto Layak Jadi Pahlawan Nasional?

Seminar Hari Pahlawan bertajuk “Menafsir Ulang Kepahlawanan di Zaman yang Berubah” digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Kamis, 20 November 2025-FISIP Unair-

"Pembiaran penetapan Soeharto sebagai pahlawan berpotensi menormalisasi pemberian gelar kepada sosok-sosok 'Soeharto' lainnya," tegas Mbak Dhani (sapaan akrab Jaleswari Pramodawardhani). 

Dhani juga menyesalkan bahwa suara alternatif dari masyarakat, terutama korban dan akademisi, kerap diabaikan dalam proses seleksi.

Akibatnya, pahlawan nasional kini lebih berbentuk sosok administratif ketimbang tokoh yang benar-benar mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Achol Firdaus memperkuat argumen tersebut dengan perspektif hak asasi manusia (HAM). Ia mengingatkan bahwa era Orde Baru dicatat sebagai periode pelanggaran HAM sistematis. 

Terutama terhadap hak sipil, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan berpendapat. "Secara teknis administratif, apakah Soeharto layak jadi pahlawan? Jawabannya tergantung pada kacamata norma HAM yang luas," ujarnya.

Achol juga mengkritik bahwa narasi kepahlawanan pascakolonial terlalu maskulin dan heroik, selalu mengasosiasikan kepahlawanan dengan pertempuran fisik.

BACA JUGA:RISE, Seminar Beasiswa oleh Adkesma BEM FIB Unair, Bagikan Tip Lolos Beasiswa ala Awardee Bright Scholarship dan Bakti Nusa

BACA JUGA:Unair Masuk Top 3,5 Persen Asia dan Peringkat 2 Nasional versi QS AUR 2026

Sehingga figur perempuan, intelektual, atau aktivis damai kerap terpinggirkan. Di tengah kritik terhadap figur individu, Aulia menawarkan perspektif masa depan yang optimistis.

Ia menyatakan bahwa kepahlawanan di era kontemporer tidak lagi bergantung pada satu tokoh karismatik, melainkan pada gerakan kolektif. Seperti aktivis lingkungan, guru di pedalaman, relawan bencana, atau pegiat literasi.

"Kepahlawanan hari ini akan lebih banyak berupa aksi kolektif daripada individu," ungkapnya.

Perspektif tersebut menjadi pengingat bahwa keberanian, pengabdian, dan keadilan bisa lahir dari siapa saja, bukan hanya dari mereka yang namanya diabadikan di buku sejarah resmi.

Diskusi tersebut menegaskan satu hal, bahwa sejarah bukanlah kebenaran tunggal, melainkan medan pertarungan narasi.

Jika dibiarkan dikuasai oleh kepentingan politik jangka pendek, gelar pahlawan nasional berisiko kehilangan makna etisnya.

Maka, masyarakat sipil, akademisi, dan media harus terus melipatgandakan narasi alternatif. Agar sejarah tidak menjadi alat legitimasi, tapi cermin kritis bagi masa depan bangsa. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: