Guru… oh… Guru

Guru… oh… Guru

ILUSTRASI Guru… oh… Guru.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Yang paling penting, masyarakat harus berhenti memandang guru semata-mata sebagai pengabdi. Mereka adalah profesional yang memiliki keahlian dan tanggung jawab besar.

Dalam kehidupan setiap orang, selalu ada guru yang namanya hidup jauh lebih lama daripada masa belajar itu sendiri. Ada guru yang mengubah cara kita memandang dunia, yang menyalakan keberanian, atau yang memperlihatkan bahwa kesalahan bukan akhir, melainkan awal dari pemahaman. 

Nama mereka hidup bukan hanya karena ucapan terima kasih, melainkan karena peran mereka membekas dalam cara kita berpikir dan bertindak. 

Guru-guru seperti itu hadir dalam ingatan kita bukan sebagai pahlawan abstrak, melainkan sebagai manusia nyata yang membentuk arah hidup kita melalui perhatian yang tulus dan kesediaan mendampingi proses tumbuh kita.

Namun, itu baru separuh cerita. Separuh lainnya adalah tentang bagaimana negara dan masyarakat ikut menjaga martabat mereka. Nama guru bisa hidup dalam sanubari individu, tetapi martabatnya hanya dapat dijaga melalui sistem yang adil. 

Rasa terima kasih personal tidak cukup untuk memperbaiki kondisi guru honorer, tidak cukup untuk memenuhi gap kesejahteraan, dan tidak cukup untuk mengatasi ketimpangan fasilitas sekolah di berbagai daerah. Dibutuhkan komitmen kolektif, bukan hanya nostalgia.

Hari Guru Nasional seharusnya menjadi momen untuk menggugat cara kita mengapresiasi guru. Sudah saatnya bangsa ini keluar dari jebakan romantisme yang terlalu lama mengikat profesi guru pada bayangan pengabdian tanpa dukungan memadai. 

Kita perlu menempatkan guru pada posisi yang layak sebagai profesi strategis. Ungkapan ”namamu akan selalu hidup dalam sanubariku” harus berubah menjadi spirit kolektif yang memengaruhi kebijakan, budaya sekolah, dan cara masyarakat memandang profesi guru.

Menghargai guru berarti menjaga nyala pelita yang mereka bawa. Tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan sistem yang adil dan masa depan yang layak. Menghidupkan nama guru dalam sanubari tidak sekadar mengenang wajah mereka, tetapi memastikan mereka dapat menjalankan profesinya dengan martabat. 

Ketika sistem pendidikan mendukung guru secara penuh, ketika masyarakat memberikan kepercayaan sekaligus penghargaan, serta ketika kebijakan negara berpihak kepada kesejahteraan dan profesionalisme guru, ucapan terima kasih itu menemukan bentuk paling sejatinya.

Dengan cara itulah nama guru benar-benar hidup, bukan sekadar dalam lagu atau ingatan emosional, melainkan dalam kualitas bangsa yang mereka bangun dari ruang kelas kecil yang sering kali penuh keterbatasan. 

Di sanalah sesungguhnya penghormatan itu menemukan maknanya: ketika masa depan bangsa tidak hanya berutang budi pada guru, tetapi juga berutang komitmen untuk menjaga martabat mereka. Guru tidak hanya pengajar, tetapi penjaga masa depan. 

Maka, sudah sewajarnya penghormatan yang diberikan kepada mereka tidak berhenti pada ukiran dalam hati, tetapi diwujudkan dalam tindakan yang memperkuat langkah mereka sebagai pembangun peradaban. (*)

*) Muhammad Tauhed Supratman adalah dosen sastra di Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP, Universitas Madura.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: