Sepatu Dahlan dan Guru Hebat Indonesia
ILUSTRASI Sepatu Dahlan dan Guru Hebat Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Dahlan Iskan Adalah Jawa Pos (2-Habis): Ketika Media Menggugat Diri Sendiri
Di rumah, Dahlan belajar tentang kejujuran. Bahwa miskin boleh, tidak jujur jangan. Dan, di sekolah, guru-gurunya menjaga nilai itu tetap menyala. Mereka tidak hanya mengajarkan hitungan dan hafalan. Mereka membentuk karakter.
Mereka melihat murid bukan sebagai angka, melainkan sebagai manusia kecil yang sedang mencari arah hidupnya.
Kini negara berusaha hadir lebih dekat. Makan Bergizi Gratis (MBG) memastikan perut anak-anak tidak lagi kosong saat belajar. Sekolah Rakyat membuka pintu bagi mereka yang selama ini hanya berdiri di luar pagar kesempatan.
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (1): Sukses Membesarkan, tetapi Bukan Pemilik Tunggal
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (3-Habis): Garap Pembaca Muda di Tengah Disrupsi Media
Itu seperti tangan negara yang terulur bagi anak-anak yang mungkin pernah merasakan apa yang Dahlan kecil alami: ingin sekolah, tetapi keadaan sering tak ramah.
Namun, kebijakan selalu membutuhkan tangan yang menghidupkannya: guru. Gurulah yang memastikan murid benar-benar makan. Gurulah yang menjaga agar sekolah tetap menjadi ruang aman.
Guru yang bekerja di garis paling depan, bukan di podium peresmian. Mereka yang namanya jarang disebut, tetapi perannya menentukan.
Sertifikasi memang membantu sebagian guru, tetapi jurang antara PNS, PPPK, dan honorer masih panjang. Ada guru honorer belasan tahun mengajar dengan gaji yang tidak layak. Ada sekolah yang harus memutar otak demi menjaga martabat para gurunya.
Itu bukan sekadar soal anggaran. Ini soal harga diri profesi yang selama ini disebut ”pahlawan tanpa tanda jasa”.
Di sisi lain, hadir generasi guru muda. Mereka tampil dengan gaya berbeda: rapi, percaya diri, kadang datang dengan kendaraan bagus. Fenomena tersebut sering disalahpahami. Padahal, itu hanya tanda zaman.
Guru muda datang dari latar berbeda. Yang penting bukan tampilannya, melainkan apakah nilai dasar profesi tetap mereka pegang: keteladanan, integritas, dan kepekaan pada anak.
Digitalisasi pendidikan menambah tantangan lain. Guru tidak cukup hanya menjadi pengajar. Mereka harus menjadi kurator informasi, penjaga etika digital, dan penyangga emosi murid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: