Rafflesia Hasseltii, Menimbang (Ulang) Nasionalisme Kita
ILUSTRASI Rafflesia Hasseltii, Menimbang (Ulang) Nasionalisme Kita.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Mereka adalah entitas yang unggul dan memiliki legitimasi. Sebaliknya, negara jajahan adalah pelengkap bagi narasi yang ciptakan dan seraing kali absen untuk disebutkan. Apa pun yang mereka lakukan selalu menjadi rujukan dan memiliki posisi epistemik yang lebih kuat.
Narasi itu menciptakan hierarki pengetahuan yang menempatkan suara Barat lebih ilmiah daripada pengetahuan lokal.
Kekeliruan klaim Oxford atas penemuan Rafflesia hasseltii bukan sekadar atribusi ilmiah, melainkan lebih dari itu adalah bentuk dari epistemik kolonialisme. Yakni, otoritas yang menentukan pihak yang diakui sebagai penemu, pakar, dan pemilik pengetahuan.
Absennya menyebutkan para peneliti lokal yang de facto menyertai, menunjuk arah, dan bekerja bersama dalam penemuan tersebut adalah ragam dari epistemik kolonialisme dan telah menjadi pola global yang dilakukan peneliti dan institusi Barat terhadap negara di belahan dunia selatan (global south) yang dikategorikan sebagai negara berkembang yang terletak di Asia, Afrika, dan Latin Amerika.
Harus diakui bersama bahwa selama puluhan, bahkan ratusan, tahun pengetahuan tentang flora, fauna, adat-istiadat, bahkan tentang kondisi masyarakat Nusantara, telah dicatat para orientalis dan naturalis Eropa. Nama-nama yang Eropa-sentris bahkan mewarnai penamaan segala penemuan, situs, bahkan benda-benda yang ada di Indonesia.
Maka, tidaklah mengherankan ketika klaim yang dibuat Oxford membuat seolah-olah masyarakat Indonesia merasakan deja vu kolonialisme. Reaksi dan penolakan seolah sahut-menyahut, bahkan menganggap lembaga pendidikan sekaliber Oxford sebagai tempat yang mereplikasi narasi kolonialisme yang dangkal.
NASIONALISME SIMBOLIS
Respons publik yang beragam sejatinya dapat dibaca sebagai gambaran tentang dua wajah nasionalisme kita. Pada satu sisi, respons tersebut adalah sebuah kesadaran bahwa tidak ada seorang pun dari bangsa lain yang bisa mengeklaim secara sepihak pengetahuan yang bersumber dari kekayaan hayati Nusantara.
Dengan kata lain, bangsa asing tidak boleh memonopoli pengetahuan dari bumi Nusantara. Fenomena itu menjadi sebuah pretensi positif bahwa masyarakat Indonesia mulai melek tentang kedaulatan pengetahuan.
Pengetahuan yang bersumber dari bumi Nusantara harus diklaim oleh masyarakat atau ilmuwan Indonesia yang lebih memahami situasi dan kondisi yang ada di Indonesia sehingga lebih komprehensif.
Tanggapan warganet Indonesia juga menunjukan sebuah ”simptom” nasionalisme simbolis adalah sebuah respons tentang kecintaan akan tanah air ketika sebuah bangsa alpa disebutkan dalam sebuah penemuan pengetahuan.
Tepatnya, itu merupakan sebuah nasionalisme reaktif dan aksidental terhadap sebuah peristiwa tanpa komitmen untuk menghidupinya dalam jangka waktu yang lama dan konsisten.
Protes terhadap klaim Oxford harus disertai upaya mendukung riset dan upaya para ilmuwan lokal menciptakan pengetahuan baru dari bumi Indonesia. Kita sering menuntut pengakuan internasional, tetapi minim memberikan perhatian pada kondisi riset dalam negeri seperti dana, publikasi, dan perlindungan para peneliti.
Akar persoalannya ialah ketidakmampuan kita membangun ekosistem riset yang mumpuni dan kuat. Dalam kasus serupa nasionalisme kita, kerap muncul sebagai ledakan emosi, tetapi bukan sebagai komitmen jangka panjang terhadap sains dan kebudayaan.
Kita pun akhirnya bangga bahwa keragaman hayati diakui dunia, tetapi bungkam ketika terjadi pembalakan hutan dan eksploitasi tambang yang merusak alam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: