KPK, Keppres, dan Pertarungan Narasi Antikorupsi
ILUSTRASI KPK, Keppres, dan Pertarungan Narasi Antikorupsi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PERTARUNGAN TIGA LEGITIMASI: KPK, DPR, DAN PRESIDEN
Dalam negara hukum, legitimasi pemberantasan korupsi bertumpu pada tiga fondasi: kekuatan bukti (KPK), kekuatan hukum (pengadilan), dan kewenangan konstitusional (presiden).
Namun, dalam kasus ASDP, ketiganya justru berbenturan. KPK yakin ada kejahatan. Pengadilan menyatakan bersalah. DPR mengatakan, itu bukan korupsi. Presiden menghapus akibat pidananya. Pertanyaannya menjadi sederhana, tetapi fundamental: siapa yang benar?
BELAJAR DARI NEGARA LAIN
Dalam best practice internasional, kewenangan grasi atau rehabilitasi hampir tidak pernah dipakai untuk kasus korupsi. Di Korea Selatan, Jepang, bahkan India, intervensi presiden dalam kasus korupsi dianggap mencederai public integrity.
Indonesia kini menghadapi risiko preseden berbahaya: suatu saat siapa pun yang terseret kasus korupsi dapat berharap pada saluran politik, bukan saluran hukum.
MERETAS JALAN KELUAR
Agar kepercayaan publik tidak runtuh, tiga langkah harus diambil.
Pertama, KPK wajib membuka metodologi dan data kerugian negara secara transparan. Jika perhitungannya lemah, akui dan perbaiki.
Kedua, presiden harus menjelaskan rasionalitas keppres di hadapan publik. Tidak cukup mengatakan ”berdasarkan kajian DPR”. Publik berhak tahu substansinya.
Ketiga, diperlukan harmonisasi aturan akuisisi BUMN. Ambiguitas antara kesalahan bisnis dan tindak pidana membuka ruang kriminalisasi sekaligus politisasi. (*)
*) Ulul Albab adalah ketua ICMI Jawa Timur dan pengajar pendidikan antikorupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: