Memahami Kompleksitas Banjir di Sumatera
ILUSTRASI Memahami Kompleksitas Banjir di Sumatera.-Arya-Harian Disway-
MENIMBANG SEBAGAI BENCANA NASIONAL
Dengan korban jiwa yang melampaui 600 orang, ratusan masih hilang, 50 kabupaten/kota terdampak di tiga provinsi, dan kerugian ekonomi hampir Rp 70 triliun, pemerintah perlu serius mempertimbangkan penetapan status bencana nasional.
Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menetapkan lima indikator: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah terdampak, serta dampak sosial-ekonomi. Bencana Sumatera telah memenuhi seluruh indikator tersebut.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan YLBHI Regional Barat mendesak agar status darurat bencana nasional segera ditetapkan. Penetapan itu akan memberikan akses kewenangan kepada BNPB untuk mengerahkan SDM, peralatan, logistik, serta pengelolaan dana secara terpusat.
Konsekuensi positif lainnya adalah koordinasi nasional yang lebih efektif antara instansi pusat, kementerian, lembaga, dan bila diperlukan adalah bantuan internasional. Argumen bahwa pemerintah daerah masih mampu menangani perlu dikaji ulang.
Fakta bahwa akses darat ke beberapa wilayah masih terputus, banyak desa terisolasi, dan bantuan harus didistribusikan via udara menunjukkan keterbatasan kapasitas daerah.
MORATORIUM IZIN KAWASAN HUTAN DI SELURUH INDONESIA
Bencana kali ini harus menjadi titik balik kebijakan. Celios (2025) mendesak moratorium segera terhadap izin tambang dan perluasan kebun sawit, seraya mendorong transisi menuju ekonomi restoratif.
Walhi menilai, selama izin-izin bermasalah tetap dibiarkan, bencana ekologis akan terus berulang di tempat yang sama.
Indonesia sebenarnya telah memiliki kebijakan moratorium melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Namun, analisis Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan masih ada celah: sekitar 1,39 juta hektare hutan alam primer belum terlindungi oleh Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).
Lebih kritis lagi, Walhi mencatat bahwa selama masa moratorium, pemerintah justru telah melepaskan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 1.277.996 hektare.
Diperlukan penguatan moratorium dengan, pertama, penghentian total penerbitan izin baru di sektor perkebunan skala besar, tambang, HPH, dan HTI.
Kedua, audit menyeluruh terhadap perizinan yang berdampak pada kerusakan kawasan hulu dan hutan.
Ketiga, restorasi ekologis di daerah aliran sungai kritis seperti ekosistem Leuser di Aceh dan hutan Batang Toru di Sumatera Utara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: