Memahami Kompleksitas Banjir di Sumatera

Memahami Kompleksitas Banjir di Sumatera

ILUSTRASI Memahami Kompleksitas Banjir di Sumatera.-Arya-Harian Disway-

PULAU SUMATERA tengah berduka. Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 1 Desember 2025 mencatat angka yang mencengangkan: 604 meninggal dunia, 464 orang masih hilang, dan lebih dari 570.000 warga mengungsi. 

Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp68,67 triliun menurut Center of Economic and Law Studies (Celios). Bencana itu dipicu Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka. 

Fenomena itu merupakan sesuatu yang langka di kawasan khatulistiwa dengan ditandai curah hujan ekstrem hingga lebih dari 300 mm per hari di beberapa wilayah.

Namun, membaca bencana itu semata sebagai anomali iklim adalah penyederhanaan yang berbahaya. Di balik derasnya air bah yang menerjang permukiman, terdapat jejak panjang kerusakan ekologis yang terakumulasi selama puluhan tahun. 

Penulis berargumen bahwa tragedi banjir Sumatera merupakan akibat dari kombinasi anomali iklim ekstrem dan krisis tata kelola lingkungan.

TAK HANYA ANOMALI IKLIM

BMKG mengidentifikasi Siklon Tropis Senyar sebagai pemicu langsung bencana. Siklon yang tumbuh dari bibit siklon 95B itu tergolong tidak lazim karena terbentuk sangat dekat dengan khatulistiwa, yang mana efek gaya Coriolis seharusnya terlalu lemah untuk membentuk pusaran siklonik. 

Research Center for Climate Change Universitas Negeri Padang menyebutkan, pemanasan laut global sebagai faktor yang memperluas area pertumbuhan siklon hingga mendekati lintang yang biasanya dianggap aman.

Akan tetapi, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Salah seorang peneliti hidrologi hutan dan konservasi DAS Universitas Gadjah Mada, Hatma Suryatmojo, menegaskan bahwa dampak destruktif banjir bandang diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu. 

Hilangnya tutupan hutan berarti hilangnya fungsi ekologis sebagai pengendali daur air melalui proses intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi. 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat menemukan pola konsisten: sebagian besar titik bencana terkonsentrasi di sekitar kawasan konsesi pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. 

Austin dkk (2019) menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi pendorong tunggal terbesar deforestasi di Indonesia, mengakibatkan 23 persen deforestasi nasional. 

Penelitian lain yang dipublikasikan di jurnal Ecology and Society (2020) oleh Jennifer Merten dan tim dari University of Göttingen, IPB, dan BMKG membuktikan bahwa perluasan perkebunan sawit dan karet di DAS Tembesi, Jambi, berkorelasi langsung dengan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: