Tobat Nasuha

Tobat Nasuha

ILUSTRASI Tobat Nasuha.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Aktor lain yang berusaha memainkan dramaturgi ialah Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Ia mengunjungi lokasi bencana dan mengatakan bahwa bencana besar itu menjadi momentum baik untuk mengadakan evaluasi terhadap kebijakan di bidang kehutanan.

Netizen marah dengan narasi ”momentum yang baik”. Bagaimana mungkin bencana dengan skala yang begitu masif dan menelan korban jiwa 700 orang disebut sebagai momentum yang baik. Netizen marah dan menganggap Raja Juli tidak sensitif, nir-empati, dan melukai perasaan banyak korban.

Sebagai menteri kehutanan, Raja Juli dianggap yang paling bertanggung jawab terhadap bencana kali ini. Banyak ahli yang mengatakan bahwa bencana tersebut merupakan akibat dari penggundulan hutan yang brutal untuk dijadikan sebagai ladang sawit.

Belum lagi pembalakan liar yang dilakukan sejumlah pembalak hutan kelas kakap. Sebuah foto yang menunjukkan Raja Juli bermain gaple dengan pengusaha yang menjadi tersangka pembalakan hutan September lalu kembali beredar luas di media sosial.

Publik mempertanyakan, mengapa bencana dengan skala yang begitu besar tidak dinyatakan sebagai bencana nasional. Ketua BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Letjen Suharyanto dikecam keras karena menganggap bencana itu tidak mencekam sebagaimana yang tergambar di media sosial.

Karena serangan gencar dari publik, Suharyanto meminta maaf. Ia mengatakan, bencana itu tidak dinyatakan sebagai bencana nasional karena ada standar yang ketat dalam penetapan bencana nasional. Selama ini yang dinyatakan sebagai bencana nasional adalah pandemi Covid-19 dan tsunami Aceh 2004.

Greenpeace Indonesia mengingatkan, bencana itu harus menjadi warning bagi Presiden Prabowo untuk segera membenahi kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta komitmen iklim secara total. 

Prabowo juga harus mengevaluasi izin-izin di Sumatera dan harus berhenti merusak hutan di wilayah lain, misalnya, Papua.  Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicita-citakan Prabowo tak akan tercapai jika lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai.

Reaksi netizen yang keras seharusnya menjadi alarm bagi Prabowo. Laporan Drone Emprit menunjukkan, betapa besar skala bencana tersebut di mata netizen. Percakapan publik mencapai 102.599 mentions dengan 382 juta interaksi, mayoritas dari X/Twitter dan TikTok. 

Di lapangan, kerusakan sangat masif. Jembatan putus, jalan nasional lumpuh, puluhan kecamatan terisolasi, dan korban jiwa yang besar.

Data itu mengungkap kemarahan terhadap ketidakadilan politik. Di media sosial, sentimen negatif mencapai 35–46 persen, didorong oleh narasi penolakan pemerintah menetapkan status bencana nasional serta tuduhan bahwa izin tambang dan sawit adalah akar kerusakan ekologis. Selain itu, ada tuduhan bahwa Sumatera diabaikan karena bukan Jawa.

Media sosial menampilkan realitas yang lebih gelap, warga terjebak, akses komunikasi hilang, solar habis, listrik padam berhari-hari, dan banyak yang tidak tersentuh bantuan karena terisolasi.

Indonesia seperti hidup dalam dua realitas. Yang satu melihat negara bekerja seperti yang ditampilkan Zulhas. Satunya melihat warga berjuang sendiri di tengah isolasi dan terputusnya akses.

Gelombang solidaritas terlihat jelas. Donasi publik meningkat tajam. Hanya dalam sehari membuka crowdfunding, Ferry Irwandi berhasil menggalang dana Rp 10 miliar. Ia pun menutup pengumpulan dana itu dan segera menyalurkannya secara terbuka dan transparan.

Antusiasme netizen yang tinggi tersebut bisa menjadi indikator yang getir. Ada distrust terhadap otoritas negara dan mengalihkan trust kepada figur informal seperti Ferry Irwandi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: