Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (3): Buku Harus Masuk Jasa Publik, Biar Bebas Pajak
Ketua Komisi XIII Willy Aditya sedang belanja di Toko Buku Kobam, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 7 September 2025.-Dok. Willy Aditya-
Menurut Wina, besaran diskon penulis itu bisa lebih banyak dari royalti. “Itu nominalnya terasa loh bagi penerbit. Apalagi, jika yang ditulis antologi,” ucapnya Minggu, 7 Desember 2025.
Sementara itu, Okky Madasari mengatakan bahwa pemerintah bisa mengintervensi harga buku dengan menghapuskan pajak buku dan menyubsidi harga kertas.

Surga bagi para penggemar buku. Ruang Literasi Kaliurang, Yogyakarta, menjadi jujugan bagi para pelajar dan mahasiswa untuk mencari referensi tugas kuliah.-Dok. RLK-
“Saya juga usul ada skema begini, setiap ada buku baru, pemerintah memberi sekian ribu eksemplar untuk didistribusikan ke perpustakaan dan sekolah di seluruh Indonesia,” urai penulis Entrok itu.
Okky yakin jika itu terjadi, maka industri perbukuan akan hidup. Pemerintah juga bisa membuat stimulan untuk menumbuhkan ekosistem perbukuan dengan cara melakukan rekayasa sosial agar minat baca masyarakat menjadi lebih baik.
Dalam lanskap perbukuan yang ringkih, nasib revisi UU Perbukuan bukan hanya soal tarif pajak atau lembaga baru. Melainkan tentang apakah negara benar-benar menganggap literasi sebagai infrastruktur peradaban.
Atau justru, seperti selama ini, sekadar retorika yang menguap begitu saja ketika berhadapan dengan kalkulasi fiskal. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: