Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (3): Buku Harus Masuk Jasa Publik, Biar Bebas Pajak

Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (3): Buku Harus Masuk Jasa Publik, Biar Bebas Pajak

Ketua Komisi XIII Willy Aditya sedang belanja di Toko Buku Kobam, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 7 September 2025.-Dok. Willy Aditya-

Sunlie Thomas Alexander menilai kebijakan perpajakan terhadap buku harus ditempatkan dalam kerangka pembangunan intelektual bangsa, bukan semata-mata sebagai objek ekonomi.

Menurut co-founder Ladang Pustaka Publishing di Yogyakarta itu, buku tidak dapat diperlakukan seperti barang dagangan umum. Buku adalah produk strategis untuk mencerdaskan bangsa.

"Karena itu idealnya bebas PPN, menjadi PPN 0% seperti di banyak negara Eropa,” ujarnya saat dihubungi Selasa, 9 Desember 2025.

Dia mencontohkan sejumlah negara maju yang memberikan insentif pajak besar bagi produk pengetahuan sebagai bentuk investasi jangka panjang.

Sunlie menekankan bahwa penghapusan PPN pada harga jual buku tidak cukup jika pemerintah tidak menerapkan mekanisme zero-rating secara lengkap.

“Kalau output PPN buku dibuat nol persen, maka PPN input seperti pajak atas kertas dan biaya cetak harus bisa direstitusi atau dikembalikan. Kalau tidak, penerbit tetap menanggung beban pajak,” jelasnya.

Tanpa mekanisme restitusi yang efektif, menurutnya, kebijakan PPN 0% hanya bersifat kosmetik dan tidak menyelesaikan persoalan struktural yang selama ini membebani penerbit.

Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan perpajakan hendaknya tidak hanya menguntungkan penerbit besar.

“RUU perpajakan harus memastikan penerbit kecil dan menengah (UKM) tetap mendapat kemudahan administrasi, termasuk dalam urusan restitusi PPN,” kata penulis Istri Muda Dewa Dapur itu.

Banyak penerbit kecil tidak memiliki sumber daya administratif yang memadai, sehingga regulasi yang rumit dapat justru mematikan mereka.

Secara garis besar, Sunlie menilai bahwa pengaturan ulang perpajakan yang ideal harus mengarah pada penghapusan PPN buku dan keringanan PPN bahan baku.

Kebijakan semacam itu diyakini dapat menurunkan harga buku, memperluas akses masyarakat terhadap bacaan berkualitas, serta mendorong lebih banyak investasi dalam industri penerbitan nasional.

“Kalau kita sungguh ingin meningkatkan literasi, maka beban pajak di sektor perbukuan harus dikurangi. Itu langkah paling logis dan paling berdampak,” tegasnya.

Pemilik Padmedia Publisher Wina Bojonegoro mengatakam harga buku di Indonesia memang mahal. Sebab, ada banyak ongkos yang dikeluarkan dalam rantai produksi. Mulai dari harga kertas, harga editor, proofread, ilustrator, layouter, distributor, sampai promosi. 

“Ya, saya paham kalau jatuhnya mahal,” ungkapnya kepada Harian Disway. Karena itulah di penerbit yang ia pimpin, royalti penulis tidak selalu diwujudkan sebagai royalti. Apalagi, buku-buku Padmedia sebagian besar adalah konsumsi komunitas dan tidak masuk toko buku. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: