Inklusivitas yang Masih Pincang: Catatan Kritis di Hari Disabilitas

Inklusivitas yang Masih Pincang: Catatan Kritis di Hari Disabilitas

ILUSTRASI Inklusivitas yang Masih Pincang: Catatan Kritis di Hari Disabilitas.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

HARI Disabilitas Internasional yang diperingati setiap awal Desember seharusnya menjadi momentum reflektif bagi masyarakat untuk menilai seberapa jauh negara hadir bagi penyandang disabilitas. 

Peringatan tahunan itu bukan sekadar seremoni, melainkan panggilan untuk memeriksa ulang struktur sosial kita –apakah sudah benar-benar memberikan keadilan, kesetaraan, dan aksesibilitas yang dijanjikan?

Dalam konteks hak asasi manusia, pemenuhan hak penyandang disabilitas bukanlah tindakan belas kasihan, melainkan kewajiban negara. 

BACA JUGA:Paroki Santo Mikael Perak Rayakan Hari Disabilitas Internasional dengan Ekaristi dan Ramah Tamah

BACA JUGA:Hari Disabilitas Internasional 2025: Momentum Membangun Masyarakat Inklusif

Selama bertahun-tahun, penyandang disabilitas masih harus menghadapi diskriminasi sosial yang bersifat laten, stigma yang melekat, hingga marginalisasi yang diperkuat oleh kebijakan dan infrastruktur yang tidak sensitif terhadap kebutuhan mereka.

Secara historis, Hari Disabilitas dideklarasikan PBB pada 1992 sebagai bentuk afirmasi global bahwa kelompok disabilitas harus dilibatkan secara penuh dalam pembangunan. 

Tema tahun 2024 –Amplifying the Leadership of Persons with Disabilities for an Inclusive and Sustainable Future–menegaskan bahwa kelompok disabilitas bukan hanya objek kebijakan, melainkan subjek yang memiliki kapasitas kepemimpinan.

BACA JUGA:SLB Seluruh Surabaya Meriahkan Hari Disabilitas Internasional, Hadirkan Pentas Seni dan Pameran Kriya

BACA JUGA:Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2024, Sejarah dan 7 Cara Merayakannya!

Namun, apakah Indonesia telah benar-benar menempatkan penyandang disabilitas sebagai mitra setara dalam pembangunan? Fakta sosial menunjukkan sebaliknya.

ABLEISME DAN STRUKTUR SOSIAL YANG MENINDAS

Dalam literatur akademik, fenomena diskriminasi terhadap penyandang disabilitas disebut sebagai ableisme. Yakni, sebuah prasangka sistematis yang menempatkan kelompok disabilitas sebagai ”kurang normal” dan ”kurang mampu”. 

Menurut Colin Barnes dalam Ableism: The Causes and Consequences of Disability Prejudice (2009), ableisme tidak hanya berupa prasangka individu, tetapi juga tertanam dalam institusi, budaya, bahkan bahasa sehari-hari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: