Inklusivitas yang Masih Pincang: Catatan Kritis di Hari Disabilitas

Inklusivitas yang Masih Pincang: Catatan Kritis di Hari Disabilitas

ILUSTRASI Inklusivitas yang Masih Pincang: Catatan Kritis di Hari Disabilitas.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

MENUJU MASYARAKAT INKLUSIF: SEBUAH HARAPAN

Membangun masyarakat inklusif bukan semata soal memperbanyak fasilitas fisik atau menambah interpreter bahasa isyarat di ruang layanan publik. Lebih jjauh dari itu, inklusi merupakan sebuah perubahan paradigma sosial yang menuntut pergeseran cara kita memandang, memperlakukan, dan memosisikan penyandang disabilitas dalam keseluruhan struktur sosial. 

Upaya tersebut harus dimulai dari sebuah revolusi kesadaran publik yang memahami bahwa kelompok disabilitas memiliki hak yang sama, bukan sebagai objek belas kasihan, melainkan sebagai warga negara yang setara dan berdaulat atas kehidupannya.

Pendidikan inklusif harus menjadi fondasi yang diberlakukan melalui standar nasional yang tegas, bukan sekadar program yang berjalan di beberapa sekolah tertentu. Tanpa sistem pendidikan yang ramah bagi semua, penyandang disabilitas akan terus terjebak dalam siklus ketidaksetaraan yang diwariskan dari generasi ke generasi. 

Hal yang sama berlaku di dunia kerja, tempat ekosistem kerja harus dibangun berdasar penilaian terhadap kapasitas, kompetensi, dan kontribusi, bukan semata kondisi fisik atau perbedaan kemampuan. Ketika dunia kerja masih mengedepankan prasangka, ketimpangan sosial akan terus direproduksi.

Selain itu, inklusi tidak akan pernah tercapai jika akses hanya tersedia di kota-kota besar. Distribusi akses yang adil hingga ke desa-desa dan wilayah tertinggal menjadi keharusan. Sebab, ketidakadilan terbesar acap kali berakar dari ketimpangan geografis. 

Penyandang disabilitas juga harus dilibatkan secara langsung dalam proses perumusan kebijakan. Sebab, mereka adalah kelompok yang paling memahami kebutuhan, hambatan, dan realitas keseharian mereka. Tanpa representasi yang bermakna, kebijakan hanya akan bersifat simbolis dan jauh dari perubahan substansial.

Integrasi bahasa isyarat sebagai bagian dari layanan publik wajib juga tidak dapat lagi dipandang sebagai opsi tambahan. Bahasa isyarat merupakan hak komunikasi dasar dan ketiadaannya di ruang publik merupakan bentuk eksklusi yang sering tidak disadari. 

Selama paradigma diskriminatif masih mengakar –baik dalam institusi, budaya, maupun pola pikir– langkah teknis apa pun tidak akan menghasilkan perubahan yang signifikan. Inklusi sejati hanya dapat terwujud melalui kemauan politik yang konsisten, terukur, dan progresif, diiringi komitmen untuk membangun sistem sosial yang memberikan ruang setara bagi seluruh warga, tanpa kecuali.

Hari Disabilitas Internasional seharusnya bukan sekadar pengingat tahunan, melainkan juga alarm yang menggugah kesadaran kita bahwa kelompok disabilitas masih berjuang melawan ketidaksetaraan struktural yang panjang. 

Peringatan itu harus menjadi katalis untuk menantang sistem yang diskriminatif dan mendesak negara untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya. (*)

*) Rafi Aufa Mawardi adalah dosen sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga, dan Tim Airlangga Inclusive Learning (AIL).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: