Membaca Tragedi Sumatera dengan Lensa Baru

Membaca Tragedi Sumatera dengan Lensa Baru

ILUSTRASI Membaca Tragedi Sumatera dengan Lensa Baru.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BANJIR bandang, longsor, dan kerusakan masif di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada pengujung tahun ini bukan sekadar bencana hidrometeorologi. 

Peristiwa itu adalah cermin besar yang memantulkan kenyataan pahit: perubahan iklim melaju jauh lebih cepat daripada kemampuan adaptasi kita. Indonesia memang telah memiliki komitmen iklim, NDC, dan berbagai dokumen adaptasi. 

Namun, tragedi Sumatera menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: terdapat jurang struktural antara pengetahuan ilmiah tentang iklim dan cara negara bekerja. 

BACA JUGA:FTMM Unair Bertolak Sabtu Ini ke Sumatera Barat, Siap Pasang Panel Surya

BACA JUGA:Korban Meninggal Akibat Bencana menjadi 995 Jiwa akibat Banjir dan Longsor di Sumatera

Dalam literatur global, kesenjangan itu dikenal sebagai adaptation gap, ada jarak antara apa yang telah dipahami, apa yang dijanjikan, dan apa yang benar-benar diwujudkan.

Bencana kali ini menguak tabir bahwa negara masih beroperasi dalam apa yang banyak ilmuwan sebut sebagai legacy climate thinking. Secara formal, perubahan iklim diakui, tetapi cara menilai risiko, menghitung intensitas hujan, merancang tata ruang, dan menyetujui proyek masih menggunakan asumsi iklim masa lalu. 

Sistem administrasi publik masih percaya bahwa hujan ekstrem adalah kejadian langka. Padahal, sains menunjukkan bahwa pola ekstrem telah menjadi norma baru. 

BACA JUGA:Prabowo Dapat Dukungan Moril dari MBS Usai Bencana di Aceh dan Sumatera

BACA JUGA:Wujud Peduli dan Empati, SIER Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana Sumatera

Ketika curah hujan yang dulu diproyeksikan muncul sekali dalam 50 tahun kini turun beberapa kali dalam satu dekade, seluruh standar teknis yang menjadi dasar perencanaan menjadi usang. Sumatera sedang membayar harga dari keyakinan yang terlambat diperbarui.

Di tengah percepatan iklim, lanskap Nusantara sejatinya memiliki mekanisme pertahanan alami. Hutan rapat menyimpan air, akar memperlambat limpasan, lembah dan rawa menyerap debit berlebih, sungai berkelok untuk menahan energi banjir. 

Para ahli menyebutnya ecological memory, memori ekologis yang diwariskan alam untuk meredam guncangan. Memori itu kini tergerus sedikit demi sedikit. 

BACA JUGA:Prabowo Terbang Lagi ke Sumatera, Tengok Pengungsi di Aceh

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: