Membaca Tragedi Sumatera dengan Lensa Baru
ILUSTRASI Membaca Tragedi Sumatera dengan Lensa Baru.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Di saat yang sama, komunitas lokal –yaitu masyarakat adat, jaringan relawan, kelompok perempuan pengelola lahan, organisasi tapak– sering kali lebih cepat membaca tanda alam jika dibandingkan dengan birokrasi.
Mereka memiliki ecological intelligence yang tumbuh dari praktik hidup turun-temurun. Ketahanan yang paling nyata justru lahir dari pemulihan hulu berbasis adat, pemetaan risiko berbasis warga, dan pengelolaan ruang hidup sehari-hari.
Ketika negara kalah cepat daripada iklim, komunitas menjadi benteng pertama yang bekerja.
Tragedi Sumatera membawa satu pesan penting: agar tetap relevan di era iklim baru, negara harus memperbarui cara berpikirnya lebih dulu. Tidak hanya merevisi prosedur, tetapi juga menata ulang doktrin pembangunan.
Dunia saat ini berbeda dengan dunia tempat aturan dibuat. Perubahan iklim sudah memasuki babak baru dan keberanian untuk membaca ulang bumi serta menata ulang hubungan manusia dengan lanskap menjadi syarat kelangsungan kehidupan.
Bencana Sumatera adalah pengingat keras bahwa naskah lama tidak lagi mampu menjawab tantangan iklim. Pembaruan cara pandang menjadi kunci agar tragedi serupa tidak terus berulang dari tahun ke tahun. (*)
*) Jani Purnawanty adalah dosen dan peneliti di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Grantee Impact Sheed Funding (ISF) by Pulitzer Center 2022 & 2023 tema Climate Change.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: