Mengendus Jejak Gelap Rent-Seeking di Balik Bencana Ekologis
ILUSTRASI Mengendus Jejak Gelap Rent-Seeking di Balik Bencana Ekologis.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Darurat Iklim Memanggil Pemimpin Berkecerdasan Ekologis (1): Menuju Green Leadership
Tentunya, logika sederhana akan mengusik pikiran kita. Jika tragedi musibah banjir bandang tersebut merupakan fenomena bencana alam biasa, mengapa aliran air bah dipenuhi gelondongan kayu dengan ukuran dan bentuk yang terkesan sudah diproses setengah jadi?
Jika asumsi yang selama ini beredar tentang adanya praktik-praktik pembalakan liar yang masif akibat longgarnya perizinan dan pengawasan dalam pengelolaan hak pengusahaan hutan (HPH), betapa jahat dan culasnya mereka dalam mengeksploitasi sumber daya hutan demi mengejar keuntungan ekonomis tanpa mempertimbangkan atau mengindahkan konservasi dan keseimbangan habitat lingkungan alam di wilayah tersebut.
BENCANA EKOLOGIS, ONGKOS PEMBANGUNAN?
Dalam sistem ekonomi kapitalistik, proses pengambilan kebijakan di sektor ekonomi kerap kali dan bahkan selalu melibatkan pihak (korporasi) swasta sebagai salah satu pelaku ekonomi untuk bersama-sama terlibat dalam misi pembangunan.
Pemerintah menetapkan aturan, memberikan izin konsesi pengelolaan sumber daya alam kepada sektor swasta, dan bahkan memberikan subsidi. Pada fase itulah, potensi munculnya bibit-bibit rent-seeking.
Rent-seeking dapat diartikan sebagai aktivitas individu atau kelompok tertentu berupaya memperoleh akses kemudahan yang bersifat ekonomi maupun politis demi mendapatkan keuntungan yang besar melalui eksploitasi atau manipulasi lingkungan dengan memanfaatkan lemahnya kebijakan dan regulasi pemerintah tanpa menciptakan nilai tambah atau nilai produktif bagi masyarakat secara keseluruhan (Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality, 2012).
Adanya ketimpangan ekonomi bukan sekadar hasil alamiah dari sebuah proses persaingan pasar bebas atau kompetisi ekonomi secara fair, tetapi merupakan sebuah konsekuensi dari kebijakan, institusi, dan struktur kekuasaan yang sengaja atau tidak sengaja menguntungkan kelompok tertentu.
Stiglitz menekankan bahwa hadirnya ketimpangan merupakan konsekuensi logis dari keputusan politik. Pemegang otoritas kebijakan, sebagai regulator, sering kali memfasilitasi alokasi sumber daya kepada kelompok elite ekonomi tertentu.
Misalnya, melalui kebijakan pajak yang beraroma diskriminatif, subsidi tersembunyi, dan regulasi yang bersifat negosiatif di sektor keuangan.
Dengan begitu, munculnya ketimpangan bukanlah takdir, melainkan konsekuensi pilihan politik, yang mau tidak mau, pemerintah (dan rakyat) harus siap menanggung akibatnya.
Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dalam kurun 57 tahun terakhir, terdapat sekitar 45 juta hektare hutan yang sudah terdeforestasi secara legal, baik untuk izin hutan alam maupun hutan tanaman industri.
Fakta pemberian izin itu dinilai berkontribusi yang berdampak buruk secara signifikan terhadap kerusakan ekologi. Tidak hanya dampak terhadap lingkungan, tetapi juga kelangsungan hidup masyarakat luas.
Sementara itu, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 90 persen bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan cuaca ekstrem. Bencana tersebut sangat bertalian erat dengan kondisi lingkungan yang rusak.
Dampaknya, sejak 2015 sampai 2022 lebih dari 43 juta jiwa terluka dan mengungsi akibat bencana lingkungan. Dan, negara pun harus menanggung kerugian dari bencana ekologis hingga mencapai lebih Rp 100 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: