Mengendus Jejak Gelap Rent-Seeking di Balik Bencana Ekologis
ILUSTRASI Mengendus Jejak Gelap Rent-Seeking di Balik Bencana Ekologis.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Pada perspektif lain, terdapat hipotesis atau pandangan bahwa bencana alam bisa dianggap sebagai ”biaya” atau ”ongkos” yang inheren dalam sebuah pembangunan dan membawa kerugian besar, bahkan lebih besar daripada nilai tambah pembangunan itu sendiri karena bersifat merusak infrastruktur, mengganggu perekonomian, dan membutuhkan dana rekonstruksi yang amat besar pasca bencana.
Terlebih, bisa memakan sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan sektor produktif lainnya.
Pada perspektif logika ekstraktif, cara berpikir dan tindakan yang memperlakukan alam sebagai ”komoditas” yang bisa dieksploitasi dan diubah menjadi produk komersial demi meraih keuntungan maksimal secepat mungkin tanpa memperhitungkan dampak keberlanjutan ekologis maupun sosial jangka panjang.
Pada gilirannya, timbul inefisiensi ekonomi yang bisa mengurangi permintaan agregat karena pendapatan terkonsentrasi pada kelompok kaya yang cenderung hanya menyimpan, bukan membelanjakan.
RENT-SEEKING MEMPERLEBAR KETIMPANGAN
Penjelasan teori pertumbuhan endogen memiliki paradigma berbeda untuk bisa menjelaskan implikasi lain dari sebuah pembangunan ekonomi. Teori itu memprioritaskan inovasi dan investasi teknologi sebagai motor utama pembangunan (Romer, 1990). Dan, mengabaikan implikasi negatif inovasi dan investasi yang cenderung menempatkan bencana alam sebagai ”residu pembangunan”.
Sementara itu, menurut pandangan teori pembangunan institusional, munculnya ekses negatif pembangunan menunjukkan lemahnya kualitas institusi yang justru lebih sibuk ”memungut rente” ketimbang mendorong penciptaan nilai tambah (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Pandangan Ocemoglu dan Robinson selaras dengan pendapat Stiglitz yang menyatakan bahwa rent-seeking memiliki korelasi kuat dengan penguasaan proses politik (political capture) dan penguasaan regulator (regulatory capture) oleh kekuatan kelompok elite politik maupun ekonomi.
Kelompok elite yang memiliki privilese bisa memengaruhi pihak regulator untuk mengakali aturan perpajakan, menciptakan celah hukum, ataupun menghambat kompetisi dengan membangun kartel bisnis.
Ironisnya, kondisi itu berpotensi menciptakan struktur ekonomi inefisien yang mempertahankan ketimpangan yang berlangsung awet dari generasi ke generasi.
Bagaimanapun, Stiglitz tetap menolak pandangan bahwa pasar secara otomatis menciptakan persaingan efisien. Menurutnya, pasar sering kali terdistorsi oleh kekuatan monopolistik, sektor keuangan yang spekulatif, dan institusi yang tidak kompetitif.
Distorsi itu bukan akibat kegagalan pasar murni, melainkan akibat dari intervensi dan manipulasi kepentingan elite ekonomi (oligarki). Ketimpangan ekonomi memperkuat ketimpangan politik.
Elite ekonomi menggunakan pengaruhnya untuk merancang regulasi maupun dalam proses pengambilan kebijakan politik agar tetap menguntungkan kelompok mereka.
Akibatnya, institusi demokratis menyimpang dari prinsip representasi dan menciptakan lingkaran umpan balik: kekayaan membawa kekuasaan politik, kekuasaan politik memperbesar kekayaan.
Stiglitz menunjukkan bahwa sebagian besar akumulasi kekayaan oleh kelompok kaya bukan berasal dari inovasi produktif, melainkan dari kontrol terhadap regulasi dan struktur pasar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: