Mengapa Anak Tega Membunuh Orang Tua Kandung?
ILUSTRASI Mengapa Anak Tega Membunuh Orang Tua Kandung?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Secara lebih terperinci, faktor yang melatarbelakangi terjadinya kasus pembunuhan orang tua kandung oleh anaknya sendiri adalah sebagai berikut.
Pertama, anak yang mengalami kekerasan atau trauma masa lalu dapat mengembangkan perilaku agresif dan kekerasan.
Banyak studi telah membuktikan bahwa anak korban kekerasan atau trauma mengembangkan perilaku agresif karena otak dan sistem sarafnya berubah akibat stres kronis (hormon kortisol berlebih) sehingga mereka kesulitan untuk mengontrol emosi, merasa tidak aman, meniru pola kekerasan yang dilihat, hingga mengembangkan mekanisme pertahanan diri yang salah seperti agresi.
Sebab, mereka merasa tidak punya kendali dan dunia terasa tidak aman. Itu membuat mereka sulit membangun konsep diri yang sehat dan kepercayaan pada orang lain.
Secara teoretis, yang namanya trauma bisa merusak harga diri dan rasa percaya diri, membuat anak merasa tidak berdaya dan cenderung menggunakan agresi untuk mendapatkan kendali atau perhatian.
Dalam pikiran mereka, daripada mengembangkan strategi koping yang adaptif, mereka menggunakan perilaku agresif, menarik diri, atau mati rasa emosional sebagai cara bertahan hidup.
Perilaku agresif bisa menjadi respons kompulsif untuk ”menyerang duluan” agar tidak menjadi korban lagi. Sebab, mereka merasa tidak aman dan sulit memercayai orang lain.
Kedua, anak dengan gangguan mental seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian dapat memiliki impuls kontrol yang buruk.
Anak dengan gangguan mental seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian punya kontrol impuls buruk karena adanya perubahan struktur dan fungsi otak, terutama di area yang mengatur emosi dan pengambilan keputusan, dipicu kombinasi faktor genetik, lingkungan traumatis, stres internal, serta ketidakseimbangan zat kimia otak.
Karena menderita skizofrenia, sering kali menyebabkan anak sulit mengelola emosi berat seperti cemas atau marah sehingga bereaksi spontan tanpa pikir panjang, ditambah kesulitan berpikir jernih dan fokus akibat gejala gangguan tersebut.
Pikiran campur aduk, halusinasi (bisikan), dan kesulitan fokus membuat mereka sulit mengontrol respons dan bertindak nekat atau impulsif.
Ketiga, lingkungan keluarga yang tidak stabil atau disfungsional dapat memengaruhi perilaku anak.
Lingkungan keluarga yang tidak stabil atau disfungsional memengaruhi anak karena menciptakan rasa tidak aman, mengganggu perkembangan emosi dan psikologis, serta menormalisasi perilaku negatif, membuat anak rentan cemas, depresi, sulit percaya, jadi agresif atau sebaliknya menjadi pendiam, kehilangan figur teladan, hingga meniru perilaku orang tua, karena rumah bukan lagi tempat berlindung, melainkan sumber stres kronis.
Anak belajar perilaku dari interaksi dan pola konflik/kekerasan/pengabaian yang terus-menerus merusak fondasi perkembangan sehat mereka.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan, mereka cenderung menganggap kekerasan verbal/fisik/emosional sebagai hal normal dan cenderung mengulanginya saat dewasa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: